Rabu, 14 Januari 2009

MAKALAH

PEMBELAJARAN DENGAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL
UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN
KONEKSI MATEMATIK SISWA SMK


Disampaikan pada Seminar Nasional Pendidikan Matematika
di UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
24 November 2007
















Disusun oleh
Drs Rudy Kurniawan, M.Pd







PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA
SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN YASIKA
MAJALENGKA
2007
PEMBELAJARAN DENGAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL
UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN
KONEKSI MATEMATIK SISWA SMK

Rudy Kurniawan
(STKIP YASIKA Majalengka)
Abstrak
Penelitian ini berupaya mengungkap hasil pembelajaran, berupa perbandingan peningkatan kemampuan koneksi matematik, antara siswa yang pembelajarannya menggunakan pendekatan kontekstual dengan siswa yang pembelajarannya secara tradisional. Selain itu, mengungkap hubungan positif antara sikap dan pengetahuan penunjang terhadap kemampuan koneksi matematik siswa. Populasi penelitian yaitu seluruh siswa kelas I SMKN Kadipaten dan sampelnya adalah kelas I Ak1 sebagai kelas eksperimen dan kelas I Ak2 sebagai kelas kontrol. Instrumen yang digunakan adalah tes dan nontes. Tes berupa soal uraian, terdiri dari tes pengetahuan penunjang dan tes kemampuan koneksi matematik. Bentuk nontes berupa, format observasi, format wawancara dan skala sikap model Likert dengan 4 pilihan. Berdasarkan pengolahan analisis data hasil pretes dan tes pengetahuan penunjang secara kuantitatif, ternyata diketahui bahwa siswa-siswa pada kedua kelas penelitian mempunyai kemampuan awal matematik yang sama. Hasil analisis data pada postes yang ditinjau berdasarkan peningkatan kemampuan koneksi matematik, kemampuan jenis koneksi matematik, serta peningkatan kemampuan koneksi matematik berdasarkan siswa yang berkemampuan rendah, sedang dan tinggi, ternyata siswa yang pembelajarannya dengan pendekatan kontekstual secara signifikan lebih baik dari pada siswa yang pembelajarannya secara tradisional. Selain itu, terdapat hubungan yang positif, antara sikap dan pengetahuan penunjang terhadap kemampuan koneksi matematik siswa. Berdasarkan respon melalui skala sikap pasca pembelajaran kontekstual, ternyata rata-rata siswa menunjukan sikap yang positif terhadap matematika dan pembelajarannya. Sikap positif tersebut merupakan modal dasar untuk peningkatkan kemampuan koneksi matematik siswa dimasa mendatang.

Latar Belakang Masalah
Dalam menjalani abad 21, kita harus mempersiapkan sumber daya manusia (SDM) yang benar-benar unggul dan dapat diandalkan untuk menghadapi persaingan bebas di segala bidang kehidupan sebagai dampak dari globalisasi dunia.
Pendidikan merupakan ujung tombak dalam mempersiapkan SDM yang handal, karena pendidikan diyakini akan dapat mendorong memaksimalkan potensi siswa sebagai calon SDM yang handal untuk dapat bersikap kritis, logis dan inovatif dalam menyelesaikan setiap permasalahan yang dihadapinya. Hal tersebut senada dengan pendapat Sumarmo (2004:1) yang menyatakan bahwa pendidikan matematika sebagai proses yang aktif, dinamik, dan generatif melalui kegiatan matematika (doing math) memberikan sumbangan yang penting kepada siswa dalam pengembangan nalar, berfikir logis, sistematik, ktitis dan cermat, serta bersikap obyektif dan terbuka dalam menghadapi berbagai permasalahan.
Salah satu tujuan umum pembelajaran matematika kelompok program adaptif di tingkat SMK (Depdikbud : 2004) yaitu berfungsi untuk membentuk peserta didik sebagai individu agar memiliki dasar pengetahuan yang luas dan kuat untuk menyesuaikan diri atau beradaptasi dengan perubahan yang terjadi di lingkungan sosial, lingkungan kerja, serta mampu mengembangkan diri sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan, tehnologi dan seni. Artinya target kompetensi dasar matematik, khususnya kemampuan koneksi matematik siswa harus dapat ditumbuh-kembangkan melalui pendekatan pembelajaran yang sesuai dengan bahan ajar serta sarana dan prasarananya.
Dalam proses kegiatan belajar-mengajar perlu adanya pendekatan pembelajaran yang penekanannya mengarah kepada kemampuan koneksi matematik, baik koneksi antar pokok bahasan dalam matematika, koneksi matematika dengan pelajaran lain dan koneksi matematika dengan kehidupan sehari-hari.
Pelaksanaan pembelajaran yang dapat meningkatkan kemampuan koneksi matematik harus mengacu pada empat pilar pendidikan universal yang disarankan UNESCO, yaitu learning to know, learning to do, learning to be dan learning to live together in peace and harmony. Melalui proses learning to know siswa akan memiliki pemahaman dan penalaran akan matematika dari hasil dan proses yang terkoneksikan, serta dari mana asal muasal konsep, dan ide-ide matematika terbentuk. Melalui proses mengetahui akan matematika, siswa akan memiliki potensi untuk mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari atau bidang studi lainnya. Proses learning to do memberi kesempatan pada siswa untuk trampil dalam mengkoneksikan antara pengetahuan yang sudah dimiliki dengan pengetahuan baru, sehingga dalam benaknya tercipta bahwa ide-ide/konsep matematika terjalin dari suatu hubungan yang erat, dan tak dapat terpisah berdiri sendiri. Proses learning to be matematika, menurut Sumarmo (2004:9) bersamaan dengan proses learning to do, sehingga siswa akan memahami, menghargai atau mempunyai apresiasi terhadap nilai-nilai dan keindahan akan produk dan proses serta terbentuknya matematika. Sedangkan melalui learning to live together in peace and harmony siswa akan diberi kesempatan untuk belajar secara berkelompok, bekerja sama, bertukar pikiran-sharing dan saling menghargai.
Namun kenyataan di lapangan menunjukan indikasi yang berbeda, siswa memandang pelajaran matematika sebagai pelajaran yang “sulit dan menyeramkan”, matematika susah dimengerti dan dipenuhi rumus-rumus. Disamping itu, guru terbiasa melakukan pembelajaran secara konvensional, guru hanya sekedar penyampai pesan pengetahuan, sementara siswa cenderung sebagai penerima pengetahuan semata dengan cara mencatat, mendengarkan dan menghapal apa yang telah disampaikan oleh gurunya. Tentu, hasil dari pembelajaran seperti itu dapat kita rasakan dan lihat hasilnya sekarang ini, prestasi belajar matematika siswa pada umumnya masih rendah. Bahkan Ruspiani (2000:46) mengungkap bahwa rata-rata nilai kemampuan koneksi matematik siswa sekolah menengah masih rendah, nilai rata-ratanya kurang dari 60 pada skor 100, yaitu sekitar 22.2% untuk koneksi matematik dengan pokok bahasan lain, 44.9% untuk koneksi matematik dengan bidang studi lain, dan 67.3 % untuk koneksi matematik dengan kehidupan keseharian.
Menyimak kesenjangan harapan dan kenyataan pembelajaran matematika dewasa ini, maka penulis termotivasi untuk meneliti pembelajaran dengan pendekatan kontekstual yang berjudul : Pembelajaran dengan Pendekatan Kontekstual untuk Meningkatkan Kemampuan Koneksi Matematik Siswa SMK.
Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang diajukan dalam penelitian ini adalah :
1. Apakah ada perbedaan peningkatan kemampuan koneksi matematik siswa SMK antara pembelajaran yang menggunakan pendekatan kontekstual dengan pembelajaran secara tradisional?
2. Apakah ada perbedaan kemampuan aspek koneksi matematik siswa SMK yang pembelajarannya dengan pendekatan kontekstual dan tradisional?
3. Apakah ada hubungan antara pengetahuan penunjang, sikap dan minat siswa terhadap kemampuan koneksi matematik siswa setelah bahan ajar kontekstual dan bahan ajar tradisional dilakukan di kelas ?
4. Bagaimanakah situasi proses belajar-mengajar ketika bahan ajar kontekstual dan bahan ajar tradisional dilakukan di kelas ?
5. Bagaimanakah respon siswa SMK terhadap pembelajaran kontekstual?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan, maka penelitian ini bertujuan untuk :
1. Menelaah, membandingkan, dan mendeskripsikan perbedaan peningkatan kemampuan koneksi matematik siswa SMK yang pembelajarannya menggunakan pendekatan kontekstual dengan pembelajaran secara tradisional.
2. Menelaah, membandingkan, dan mendeskripsikan perbedaan kemampuan menurut aspek koneksi matematik antara siswa SMK yang menggunakan pembelajaran dengan pendekatan kontekstual maupun pembelajaran secara tradisional.
3. Menelaah dan mendeskripsikan hubungan antara pengetahuan penunjang, sikap dan minat siswa sebelum pembelajaran dengan kemampuan koneksi matematik siswa setelah bahan ajar kontekstual dan bahan ajar tradisional dilakukan di kelas.
4. Mengetahui situasi proses belajar-mengajar ketika bahan ajar kontekstual dan bahan ajar tradisional dilakukan di kelas.
5. Mengetahui respon siswa terhadap pembelajaran kontekstual.
Pentingnya Masalah
Penelitian ini penting karena :
1. Memberikan sumbangan pemikiran yang signifikan terhadap upaya perencanaan pembelajaran pada pokok bahasan matematika lainnya, serta kerangka kerja pedagogiknya yang harus dipersiapkan guru, sehingga dapat meningkatkan kemampuan koneksi matematik siswa.
2. Bila penelitian ini berhasil positif, akan memberikan kontribusi bagi para guru matematika SMK untuk meningkatkan prestasi belajar matematika siswa.
3. Untuk para pengambil kebijakan pendidikan, dapat dijadikan sebagai sebuah rujukan dalam meningkatkan kemampuan kompetensi matematik siswa.
Pembelajaran dengan Pendekatan Kontekstual
Pendefinisian pembelajaran dengan pendekatan kontekstual yang dikemukakan oleh ahli sangatlah beragam, namun pada dasarnya memuat faktor-faktor yang sama. Pembelajaran dengan pendekatan kontekstual (Contextual Teaching and Learning, CTL) adalah suatu pendekatan pembelajaran yang dimulai dengan mengambil, mensimulasikan, menceritakan, berdialog, bertanya jawab atau berdiskusi pada kejadian dunia nyata kehidupan sehari-hari yang dialami siswa, kemudian diangkat kedalam konsep yang akan dipelajari dan dibahas. Menurut Berns dan Ericson (2001), yang menyatakan bahwa pembelajaran dengan pendekatan kontekstual adalah suatu konsep pembelajaran yang dapat membantu guru menghubungkan materi pelajaran dengan situasi nyata, dan memotivasi siswa untuk membuat koneksi antara pengetahuan dan penerapannya dikehidupan sehari-hari dalam peran mereka sebagai anggota keluarga, warga negara dan pekerja, sehingga mendorong motivasi mereka untuk bekerja keras dalam menerapkan hasil belajarnya.
Seting pembelajaran kontekstual difokuskan seperti berikut ini :
1) Siswa dibuat kelompok kecil sekitar 5 orang dengan kemampuan yang heterogen.
2) Pada awal pembelajaran guru memberikan apersepsi, manfaat materi yang akan dipelajarinya serta membahas beberapa soal PR yang terpilih.
3) Kelompok siswa diberikan permasalahan kontekstual (dalam bentuk LKS) yang menantang siswa, agar mencari solusinya.
4) Siswa mengeksplorasi pengetahuan dengan cara mengkoneksikan pengintegrasian pengetahuan untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi, baik secara berkelompok ataupun sendiri.
5) Guru menggunakan sistem tanya jawab yang interaktif antara siswa dengan siswa ataupun siswa dengan guru, untuk menjelaskan hal yang tidak dimengerti oleh siswa.
6) Saat siswa mengerjakan LKS per kelompok, guru berkeliling kelas bertindak sebagai fasilitator dan moderator, membimbing siswa yang bermasalah.
7) Saat siswa selesai berdiskusi secara berkelompok, perwakilan salah satu kelompok mempresentasikan hasil diskusinya ke depan kelas. Melalui interaksi siswa digiring membahas permasalahan yang disajikan.
8) Diakhir pertemuan, diadakan refleksi terhadap pembelajaran yang sudah berlangsung. Siswa dapat merangkum hasil pembelajaran, selanjutnya guru memberikan beberapa soal latihan di LKS untuk dikerjakan dirumah.
Metode dan Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen dengan teknik analisis data yang diolah secara kuantitatif dan kualitatif. Dua kelompok siswa dipilih secara acak menurut kelas, yaitu kelompok eksperimen ( I ) memperoleh perlakuan berupa pembelajaran matematika dengan pendekatan kontekstual, dan kelompok kontrol ( II ) secara tradisional. Sebelum perlakuan, kedua kelompok diberi tes pengetahuan penunjang dan pretes, setelah perlakuan diadakan postes.
Disain penelitiannya adalah disain kelompok kontrol pretes-postes, yaitu :
A 0 X 0
A 0 0
Keterangan : A = Pengelompokkan subjek secara acak kelas.
O = Pretes = Postes
X = Pembelajaran dengan pendekatan kontekstual
Populasi dan Sampel
Populasi penelitian adalah seluruh siswa kelas 1 SMK Negeri 1 Kadipaten Kabupaten Majalengka Propinsi Jawa Barat tahun pelajaran 2005/2006 sebanyak 349 siswa. Sampel penelitian kelas eksperimen adalah kelas I Ak 1, dan kelas kontrolnya adalah I Ak 2, masing-masing kelas terdiri dari 44 orang siswa.
Instrumen Penelitian dan Pengembangannya
1. Instrumen Skala Sikap
Instrumen skala sikap adalah modifikasi Likert dengan 4 item pilihan jawaban yaitu SS (sangat setuju), S (setuju), TS (tidak Setuju) dan STS (sangat tidak setuju). Semua pernyataan skala sikap sebelum perlakuan ( I ) dan sesudah Perlakuan ( II ) divalidasi secara logis dan empirik.
2. Format Observasi
Observasi yang dilakukan adalah ‘pengamatan berperan serta’, dibantu 3 orang guru SMKN yang telah mendapatkan pengetahuan pembelajaran dengan pendekatan kontekstual. Format observasi divalidasi secara logis.
3. Format Wawancara
Format wawancara divalidasi secara logis. Wawancara hanya dilakukan pada kelas eksperimen dan subyek yang diwawancarai diambil secara acak dari kelas eksperimen tersebut.
4. Tes Pengetahuan Penunjang
Tes pengetahuan penunjang (TPP) berbentuk uraian sebanyak 10 soal yang diberikan sebelum pembelajaran dimulai, skor dan perangkat TPP divalidasi secara logis.
5. Tes Kemampuan Koneksi Matematik (TKKM)
Tes kemampuan koneksi matematik digunakan pada pretes dan postes. Validasi tes dilakukan secara logis dan empirik. Topik bahasan tes yaitu : Persamaan dan Pertidaksamaan Linier, Persamaan dan Pertidaksamaan Kuadrat, Sistim Persamaan Linier, Sistim Persamaan Linier dan Kuadrat, serta Sistim Pertidaksamaan/Program Linier. Soal disusun dalam bentuk tes uraian sebanyak 10 soal yang terbagi dalam tiga kelompok :
• Kelompok 1 (K1), adalah soal yang memiliki aspek koneksi dengan topik- topik dalam matematika.
• Kelompok 2 (K2), soal yang memiliki aspek koneksi dengan disiplin ilmu lain.
• Kelompok 3 (K3), soal yang memiliki aspek koneksi dengan dunia nyata.

Pengembangan Bahan Ajar dan Uji Cobanya
Pembelajaran dalam penelitian ini disusun dalam bentuk lembar kerja siswa (LKS) yang dilengkapi dengan petunjuk penyelesaian. Penyusunan LKS mempertimbangkan tugas, partisipasi, dan motivasi siswa yang dirancang dalam pembelajaran dengan pendekatan kontekstual sesuai materi ajar yang akan diteliti.
Uji coba model pembelajaran dilaksanakan di kelas 1 Ak1 SMK PGRI Dawuan pada tanggal 23 Juli 2005 dengan topik Persamaan Kuadrat dan Sistim Pertidaksamaan Linier.
Pelaksanaan Penelitian
Pelaksanaan tes skala sikap I, TPP dan pretes dimulai dari tanggal 8 Agustus hingga 15 Agustus 2005, sedangkan pelaksanaan pembelajaran menggunakan LKS sebanyak 13 buah, dimulai dari tanggal 22 Agustus sampai dengan 20 September 2005. Observasi pengamat I, II dan III dilakukan dari tanggal 29 Agustus hingga tanggal 19 September 2005. Postes dilaksanakan pada hari Rabu tanggal 21 September 2005 yang dilanjutkan dengan tes skala sikap II, sedangkan wawancara dilakukan pada tanggal 22 September 2005.
Teknik Pengolahan Data Hasil Tes
Analisis statistik untuk teknik pengolahan data yang didapatkan dari skor-skor hasil tes dilakukan sesuai langkah-langkah sebagaimana pendapat Ruseffendi (1998) dan Nurgana (1993) berikut ini:
1. Menghitung nilai rata-rata hitung, dan simpangan baku
2. Menguji normalitas dengan menggunakan statistik uji Chi-Kuadrat
3. Menguji homogenitas varians pada statistik F..
4. Menguji perbedaan dua rata-rata dengan menggunakan uji-t.
5. Jika salah satu atau kedua kelompok sampel tidak berdistribusi normal maka pengujian hipotesis menggunakan tehnik uji U - Mann- Whitney.
Pengolahan data serta analisis statistik untuk mengetahui peningkatan kemampuan koneksi matematik antara siswa yang berkemampuan rendah, sedang dan tinggi berdasarkan gain normalnya adalah sebagai berikut (Ruseffendi,1998):
1. Membagi kelompok sampel menjadi sub kelompok tinggi, sedang dan rendah, berdasarkan nilai postes
2. Menghitung nilai peningkatan prestasi (gain normal) dari setiap sub kelompok.
3. Menguji normalitas data dari setiap sub kelompok.
4. Menguji homogenitas varians ketiga sub kelompok dengan uji Bartlett.
5. Menguji perbedaaan rata-rata peningkatan kemampuan koneksi matematika (KKM) ketiga sub kelompok dengan uji Anova satu jalur.
6. Menguji perbedaan rata-rata peningkatan KKM diantara ketiga sub kelompok dengan uji Scheffe.
Analisis statistik yang digunakan untuk mengetahui adakah hubungan yang positif antara skor tes skala sikap dan minat siswa terhadap matematika (x1), serta skor pengetahuan penunjang (x2) terhadap kemampuan koneksi matematik siswa (y) pada kelompok eksperimen dan kontrol, dilakukan langkah-langkah pengujian hipotesis asosiatif korelasi sampel ganda dua variabel independen sesuai pendapat Ruseffendi (1998:376), Nurgana (1993:93-97) dan Sugiyono (2004), yaitu :
1. Menguji normalitas dari masing-masing kelompok sampel dengan menggunakan statistik uji Chi-Kuadrat.
2. Jika seluruh kelompok sampel normal, dilanjutkan dengan menguji linieritas regresi.
3. Menghitung korelasi sederhana dan korelasi ganda.
4. Menguji signifikansi terhadap koefisien korelasi ganda dengan uji F.
5. Menentukan tingkat hubungan berdasarkan koefisien korelasi (R).
6. Jika minimal salah satu dari ketiga kelompok sampel tidak normal, maka langkah selanjutnya menghitung koefisien korelasi sederhananya dengan Korelasi Rank Spearman. Langkah pengujian selanjutnya, sama seperti langkah ke-3 hingga langkah ke-5 di atas.
2. Data Hasil Non Tes
Untuk memvalidasi dan mengestimasi butir skala sikap menurut pendapat Sumarmo (2002) caranya yaitu : (1) Tentukan skor tiap subyek, (2) Tentukan kelompok tinggi dan kelompok rendah, (3) Tentukan mean skor kelompok tinggi ( T) dan kelompok rendah ( R), (4) Tentukan variansi kelompok tinggi (sT2) dan kelompok rendah (sR2), (5) Tentukan jumlah sampel kelompok tinggi (nT) dan kelompok rendah (nR), (6) Hitung pengujian statistik dengan rumus t.
Selanjutnya, untuk menganalisis respon siswa pada tes skala sikap II yang telah divalidasi, analisis tes dilakukan dengan tiga cara. Pertama, mencari rataan skor dari keseluruhan siswa. Kedua, mencari rata-an per item soal dari seluruh siswa. Ketiga, mencari tingkat persetujuan siswa untuk masing-masing item.
Rata-rata respon siswa per item soal dikatakan positif bila rata-rata respon siswa tersebut lebih besar dari skor netralnya. Begitu pula sebaliknya. Skor netral dihitung berdasarkan rata-rata skor per item soal.
Hasil Penelitian dan Pembahasan
1. Kemampuan Pengetahuan Penunjang
Hasil analisis perbedaan rata-rata TPP dan KKM sesuai tabel 1.
Tabel 1
Hasil Analisis Perbedaan Rata-rata Data Tes Pengetahuan Penunjang dan Kemampuan Koneksi Matematika
Jenis Tes Kelas
s χ2hit χ2tab Fhit Ftab, Nilai Makna
TPP Eksperimen 21,84 4,67 1,66 13,3 1,84 2,06 thitung 0,206 Tak berbeda
Kontrol 22,02 3,44 2,41 11,3 ttabel 2,6
Pretes KKM Eksperimen 14,48 4,20 3,92 13,3 1,26 2,06 thitung 2,14 Tak berbeda
Kontrol 16,50 4,63 2,09 13,3 ttabel 2,64
Postes KKM Eksperimen 37,48 7,26 5,47 13,3 1,11 2,01 thitung5,86 Berbeda
Kontrol 28,66 6,57 2,62 13,3 ttabel 2,64

Berdasarkan hasil analisis data terhadap rata-rata skor tes kemampuan pengetahuan penunjang pada kelas eksperimen dan kelompok kontrol, kedua kelompok memiliki kemampuan yang sama. Rata-rata tingkat penguasaannya berada pada kualifikasi penguasaan sedang, artinya seluruh rata-rata materi prasyarat telah cukup dikuasai oleh seluruh siswa sehingga kedua kelompok sampel penelitian sudah siap menerima dan beradaptasi dengan materi pelajaran yang akan diimplementasikan melalui pendekatan pembelajaran yang baru. Hal ini sesuai dengan pendapat Rhem (Ratnaningsih,2003:103) bahwa pengetahuan yang dimiliki siswa akan membantu mengadaptasi pengetahuan baru.
2. Kemampuan Koneksi Matematik (KKM) Siswa
Pada umumnya siswa kelompok eksperimen mengerjakan tes KKM melalui proses yang sistematis dengan menggunakan beberapa cara penyelesaian. Sedangkan siswa yang pembelajarannya secara tradisional pada umumnya hanya melalui satu cara. Hal ini menunjukkan bahwa siswa yang pembelajarannya dengan pendekatan kontekstual pada umumnya lebih mengutamakan proses penyelesaian dengan cara mengkaitkan pengetahuan yang berbeda-beda untuk menyelesaikan setiap permasalahan, dan tidak mengutamakan hasil/jawaban akhir saja, sedangkan siswa-siswa yang pembelajarannya secara tradisional lebih mengutamakan hasil akhir.
Hasil analisis perbedaan KKM terhadap hipotesis statistik melalui uji-t pada taraf signifikansi 0,05, ternyata KKM siswa melalui pembelajaran dengan pendekatan kontekstual lebih baik dari pada siswa yang menggunakan pembelajaran tradisional. Hal ini sesuai dengan pendapat Suherman (2003:13) yang menyatakan bahwa “Secara logika dan rasa, pembelajaran dengan CTL sangat menjanjikan untuk peningkatan kualitas proses dan hasil belajar siswa, karena dapat mengembangkan potensi siswa secara optimal”.
Terungkap pula, tingkat penguasaan kemampuan koneksi matematik (TPKKM) kelas eksperimen dengan kualifikasi sangat tinggi 2% dan pada kelas kontrol tak ada seorangpun. TPKKM kualifikasi tinggi pada kelas eksperimen 32% dan kelas kontrol hanya 2%, sedangkan TPKKM kualifikasi sedang kelas ekperimen 48% dan kelas kontrol 30%., TPKKM untuk kualifikasi rendah di kelas eksperimen hanya 18%, sedangkan TPKKM kelas kontrol untuk kualifikasi rendah 66% dan sangat rendah 2%. Selain itu, rata-rata TPKKM sebelum perlakuan pada kelas eksperimen 0,26 = 26% dan kelas kontrol 0,3 = 30% tetapi setelah perlakuan ternyata rata-rata TPKKM kelas eksperimen 0,682 = 68,2% dan kelas kontrol hanya 0,521 = 52,1%. Demikian pula pada tingkat ketuntasan belajar siswa, pada kelas eksperimen sekitar 82% sedangkan kelas kontrol hanya 32%. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa siswa yang pembelajarannya menggunakan pendekatan kontekstual dapat lebih meningkatkan prestasi siswanya, dari pada dengan pembelajaran secara tradisional. Hal tersebut sesuai pendapat Northwest Regional Education Laboratories (Suherman, 2003) yang menyatakan bahwa pengajaran kontekstual menciptakan kebermaknaan pengalaman belajar dan meningkatkan prestasi akademik siswa.
Kesimpulan tersebut diperkuat melalui analisis statistik uji perbedaan peningkatan (gain normal) KKM antara kelas ekperimen dengan kelas kontrol. Analisis tersebut mengungkapkan bahwa peningkatan KKM siswa melalui pembelajaran dengan pendekatan kontekstual lebih baik dibandingkan pembelajaran secara tradisional, baik berdasarkan aspek K1, K2, K3, maupun berdasarkan KKM secara menyeluruh. Hal itu, sesuai dengan tingkat penguasaan berdasarkan aspek koneksi, yaitu pada kelas eksperimen tingkat penguasaan KKM I adalah 0,6451 65%, KKM II adalah 0,634 63% dan untuk tingkat penguasaan KKM III adalah 0,792 79%, sedangkan pada kelas kontrol tingkat pengusaan aspek KKM I, II dan III, secara berturut turut adalah 40%, 51% dan 72% (Perhatikam gambar 1).
Gambar 1
Histogram Rata-rata Tingkat Penguasaan (TP)
Kemampuan Jenis Koneksi Matematik Kelas Eksperimen dan Kontrol










Melalui analisis perbedaan rata-rata peningkatan antara kelompok atas, sedang, dan bawah dari kelas penelitiannya masing-masing, terungkap bahwa peningkatan kelompok atas lebih baik dari pada kelompok tengah dan kelompok bawahnya, dan peningkatan kelompok tengah lebih baik dibandingkan kelompok bawahnya.
Berdasarkan analisis statistik yang digunakan untuk mengetahui hubungan antara skor skala sikap dan minat siswa terhadap matematika (x1), serta skor pengetahuan penunjang (x2) terhadap kemampuan koneksi matematik siswa (y) pada kelas eksperimen dan kelas kontrol, ternyata pada kelas eksperimen koefisien korelasi ryx2 = 0.6305, ryx1 = 0.449, rx1x2 = 0.401 dan koefisien korelasi gandanya Ry. x1x2 = 0.67. Pada kelas kontrol ternyata ryx2 = 0.58, ryx1 = 0.23 dan rx1x2 = 0.29, koefisien korelasi ganda Ry. x1x2 = 0.584. Melalui uji F pada tahap keberartian 0,01 dengan derajad kebebasan pembilang 2 dan derajad kebebasan penyebut = 41 diperoleh kesimpulan ada korelasi yang positif antara sikap dan minat, serta pengetahuan penunjang terhadap kemampuan koneksi matematik yang pembelajarannya melalui pendekatan kontekstual maupun secara tradisional. Tingkat korelasi di kelas eksperimen tinggi, sedangkan kelas kontrol sedang.
3. Sikap Siswa Terhadap Pembelajaran dengan Pendekatan Kontekstual
Hasil skala sikap siswa kelas eksperimen rata-ratanya bersikap positif, dengan persetujuan yang tinggi. Keadaan seperti ini, dapat menjadi modal untuk menciptakan suasana belajar yang efektif. Hal tersebut, sesuai dengan pendapat Berlin dan Hillen (Ruspiani, 2000:68) menyatakan bahwa sikap positif siswa akan menjadi awal untuk menuju lingkungan belajar yang efektif, dengan lingkungan belajar yang efektif menuntut guru bertindak kreatif, dengan kreatifitas guru dan keaktifan siswa dalam belajar, akan meningkatkan keberhasilan prestasi belajar matematik pada umumnya.
Hasil analisis hubungan antara sikap siswa terhadap pembelajaran dengan pendekatan kontesktual dan pengetahuan penunjang terhadap kemampuan koneksi matematik, diperoleh koefisien korelasinya R = 0,7374. Berdasarkan pengujian signifikasi korelasi dengan uji F ternyata terdapat hubungan yang signifikan kuat antara ketiga unsur tersebut. Jadi dapat dikatakan, bahwa sikap siswa setelah mengikuti pembelajaran kontekstual dapat mempengaruhi secara positif terhadap prestasi belajarnya.
4. Aktivitas Siswa Selama Proses Pembelajaran dengan Pendekatan Kontekstual
Aktivitas siswa secara umum meningkat, antusiasisme belajar matematika semakin besar. Siswa terlibat aktif dalam menyelesaikan semua permasalahan dalam LKS yang diberikan, siswa merasa belajar serius tapi santai, tidak tegang dan menyenangkan.
Setiap sub pokok bahasan selesai dibahas, siswa diberi LKS tanpa disertai petunjuk penyelesaian. Dengan model LKS ini, diharapkan siswa dapat menerapkan materi yang telah diterima sebelumnya. Untuk soal yang berhubungan dengan aspek K1 dan K2, kadang-kadang beberapa kelompok siswa masih perlu mendapat bimbingan dari guru. Untuk itu, siswa dibimbing agar dapat mengkonstruksi pengetahuannya, melalui interaksi siswa pada umunya dapat menyelesaikan permasalahan yang diberikan.
Berdasarkan hasil observasi, ternyata aktivitas siswa yang paling dominan adalah mempelajari materi dalam LKS, membaca buku atau bahan ajar yang relevan dengan materi pembelajaran. Artinya mereka akan mengkoneksikan informasi/pengetahuan yang ada atau yang sudah dimiliki siswa sebelumnya dalam mengkonstruksi pengetahuan baru untuk menyelesaikan permasalahan soal yang dihadapinya.
Dari hasil observasi diketahui bahwa aktivitas siswa untuk mempelajari materi, berdiskusi, mengemukakan pendapatnya serta menyimpulkan materi yang telah dipelajari adalah sangat baik.
Kesimpulan
Pembelajaran dengan pendekatan kontekstual secara signifikan lebih baik dalam meningkatkan kemampuan koneksi matematik siswa dibandingkan dengan pembelajaran secara tradisional, begitu pula kemampuan aspek koneksi matematiknya.
Peningkatan kemampuan koneksi matematik yang berasal dari siswa kelompok tinggi secara signifikan lebih baik dibandingkan kelompok lainnya, sedangkan siswa kelompok sedang lebih baik dibandingkan kelompok rendah.
Hubungan antara sikap dan minat serta pengetahuan penunjang siswa terhadap kemampuan koneksi matematiknya adalah positif tinggi. Sikap dan minat siswa terhadap pembelajaran dengan pendekatan kontekstual menunjukkan arah positif. Sikap positif ini merupakan suatu modal dasar untuk menciptakan proses belajar yang efektif sehingga kemampuan koneksi matematik siswa masih dapat terus ditingkatkan.
Saran
Mengingat bahwa sekolah kejuruan bertujuan untuk mempersiapkan siswa agar dapat menerapkan semua pengetahuan yang didapat dari sekolah pada kehidupan nyata sehingga siswa akan siap bekerja sesuai dengan bidang yang digelutinya, maka pembelajaran dengan pendekatan kontekstual sangatlah potensial untuk segera diimplementasikan di lapangan. Agar dapat mencapai hasil yang memuaskan, maka kerangka teoritik model pembelajaran kontesktual yang sudah ada dapat dijadikan acuan yang utama. Pengimplementasian pembelajaran dengan pendekatan kontekstual, perlu memperhatikan kesesuaian materi pembelajaran, sarana dan prasarana sekolah serta pembagian waktu dalam pembelajaran secara seksama.
Untuk para pengambil kebijakan pendidikan, kiranya pembelajaran dengan pendekatan kontekstual menjadi salah satu model pembelajaran yang ditindak lanjuti dengan pelatihan-pelatihan yang lebih intensif tentang pembelajaran ini. Guru dan praktisi pendidikan sudah sepantasnya segera merubah kebiasaan pembelajaran yang didominasi oleh guru, dengan demikian believe pembelajaran yang terkini adalah pembelajaran yang berpusat pada siswa.
DAFTAR PUSTAKA
Berns, R.G and Erickson, P.M. (2001). Contextual Teaching and Learning. The Highlight Zone : Research a Work No. 5 (Online) Available: http: //www.ncte.org/publications/infosyntesis/highlight 05/index.asp ?dirid = 145 & dspid =1.
Departemen Pendidikan Nasional (2004). Kurikulum SMK Edisi 2004. Jakarta : Dirjen Dikmenjur
Nurgana (1993). Statistika Penelitian. Bandung: C.V Permadi
Ratnaningsih, N. (2003). Mengembangkan Kemampuan Berpikir Matematik Siswa Sekolah Menengah Umum (SMU) Melalui Pembelajaran Berbasis Masalah. Tesis : UPI Bandung : Tidak diterbitkan.

Ruseffendi, E.T. (1991). Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika CBSA. Bandung: Tarsito.
---------------- (1998). Statistika Dasar untuk Penelitian Pendidikan. Bandung : IKIP Bandung Pres.
Ruspiani. (2000). Kemampuan Siswa dalam Melakukan Koneksi Matematik. Tesis : UPI. Bandung : Tidak diterbitkan.
Sugiyono (2002), Statistika untuk Penelitian, C V Alfabeta, Bandung.
Suherman, E. (2001). Evaluasi Proses dan Hasil Belajar Matematika. Jakarta: Pusat Penerbitan UT.
----------------- (2003). Pendekatan Kontekstual dalam Pembelajaran Matematika. Makalah. Bandung : Depdiknas Pemda Jabar.
Sumarmo,U. (2004). Pembelajaran Matematika untuk Mendukung Pelaksanaan Kurikulum Berbasis Kompetensi. Makalah. Bandung : PPS UPI.

kemampuan pemahaman dan pemecahan maslah matematik

KEMAMPUAN PEMAHAMAN, PEMECAHAN MASALAH MATEMATIK
SERTA PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL





MAKALAH
Diajukan Sebagai Bahan Kajian pada Seminar Nasional Pendidikan Matematika



















Oleh:
Rudy Kurniawan
NIDN.0414126601



PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA
SEKOLAH TINGGI KEGURURAN DAN PENDIDIKAN YASIKA
MAJALENGKA
2009


BAB I
PEMAHAMAN MATEMATIK

A. Pemahaman Matematik
Pengertian pemahaman matematik dapat dipandang sebagai proses dan tujuan dari suatu pembelajaran matematika. Pemahaman matematik sebagai proses berarti pemahaman matematik adalah suatu proses pengamatan kognisi yang tak langsung dalam menyerap pengertian dari konsep/teori yang akan dipahami, mempertunjukkan kemampuannya di dalam menerapkan konsep/teori yang dipahami pada keadaan dan situasi-situasi yang lainnya. Sedangkan sebagai tujuan, pemahaman matematik berarti suatu kemampuan memahami konsep, membedakan sejumlah konsep-konsep yang saling terpisah, serta kemampuan melakukan perhitungan secara bermakna pada situasi atau permasalahan-permasalahan yang lebih luas. Dengan demikian kemampuan pemahaman matematik merupakan suatu kekuatan yang harus diperhatikan dan diperlakukan secara fungsional dalam proses dan tujuan pembelajaran matematika, terlebih lagi sense memperoleh pemahaman matematik pada saat pembelajaran, hal tersebut hanya bisa dilakukan melalui pembelajaran dengan pemahaman.
Menurut Anderson dan Krathwohl (2001) ketika tujuan primer pengajaran adalah mempromosikan retensi pengulangan maka fokus objek materi pengajarannya menekankan pada kemampuan ingatan. Namun ketika tujuan pengajaran bertujuan untuk mempromosikan pentransferan/transfer pemindahan, maka bagaimanapun juga fokus objek materi pembelajarannya menekankan pada lima proses kognitif yang lainnya (pemahaman hingga kreasi). Selain itu, salah satu katagori utama dari dasar transfer materi pendidikan di sekolah menekankan pada pemahaman. Menurut Alfeld (2004) seseorang memahami matematika maka ia dapat melakukan hal sbb :
1. Explain mathematical concepts and facts in terms of simpler concepts and facts.
2. Easily make logical connections between different facts and concepts.
3. Recognize the connection when you encounter something new (inside or outside of mathematics) that's close to the mathematics you understand.
4. Identify the principles in the given piece of mathematics that make everything work.
Dengan demikian pemahaman mempunyai tingkat kedalaman yang berbeda, misalnya bila seorang ahli matematika mengatakan ia memahami suatu teori/konsep matematika, maka berarti ia mengetahui banyak hal tentang teori/konsep tersebut. Ia tentu mengetahui aspek-aspek pembuktian deduktif teori tersebut, selain itu ia tentu mengetahui contoh-contoh dan koneksi antara teori itu dengan teori lainnya, ia mengetahui aplikasi-aplikasi teori tersebut maupun prasyarat-prasyarat untuk menggunakan teori itu. Artinya, ahli tersebut mengetahui teori matematika secara mendetail, terperinci hingga sekecil-kecilnya. Tetapi, sebaliknya bila seorang siswa sekolah dasar memahami suatu teori/konsep matematik, maka tentu tingkat kedalaman pemahamannya tentang teori tersebut akan berbeda dengan ahli matematika. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Polya (Utari, 1987 : 23) yang mengemukakan empat tingkat pemahaman suatu hukum, yaitu pemahaman mekanikal, pemahaman induktif, pemahaman rasional dan pemahaman intuitif. Seeorang memiliki pemahaman mekanikal, berarti ia dapat mengingat dan menerapkan hukum itu secara benar, dan bila seseorang memiliki pemahaman induktif berarti ia telah mencobakan hukum itu kedalam kasus sederhana dan yakin bahwa hukum berlaku untuk kasus-kasus yang serupa. Selanjutnya, bila sesorang memiliki pemahaman rasional berarti ia dapat membuktikan hukum itu, dan bila ia telah memiliki pemahaman intuitif berarti ia telah yakin hukum itu tanpa ragu-ragu, ia dapat dengan segera memberikan suatu prediksi yang tepat dan kemudian terbukti kebenarannya.
Menurut Mastie dan Johson (Wanhar, 2000), pemahaman terjadi ketika orang mampu mengenali, menjelaskan dan menginterpretasikan suatu masalah. Bila seseorang akan menjelaskan suatu situasi maka ada tiga aspek kemampuan yang harus diperhatikan untuk memahaminya, yaitu kemampuan mengenal, kemampuan menjelaskan dan kemampuan untuk menarik kesimpulan.Sebagai contoh, bila seorang siswa akan memahami suatu objek secara mendalam, maka menurut Michener (Utari, 1987 : 24) ia harus mengenal : (1) Objek itu sendiri, (2) Mengenal relasinya dengan objek lain yang sejenis, (3) Mengenal relasinya dengan objek lain yang tidak sejenis, (4) Relasi-dual dengan objek lain yang sejenis, (5) Relasi-dual dengan objek lain yang tidak sejenis (dengan teori lain).
Skemp (Utari, 1987 : 24-25) menyatakan bahwa pemahaman ada dua jenis, yaitu pemahaman instrumental dan pemahaman relasional. Pemahaman instrumental suatu konsep matematik berarti suatu pemahaman atas membedakan sejumlah konsep sebagai pemahaman konsep yang saling terpisah dan hanya hafal rumus dengan perhitungan sederhana. Sedangkan pemahaman relasional berarti dapat melakukan perhitungan secara bermakna pada permasalahan-permasalahan yang lebih luas. Misalnya siswa dapat menyelesaikan kasus persamaan kuadrat 2x2 -3x + 1 = 0 dengan menggunakan rumus a, b, c, dan ia dapat menyelesaikan dengan cara yang sama untuk persamaan kuadrat bx2 + cx + a = 0. Berbeda dengan siswa yang hanya memiliki pemahaman instrumental ia hanya mampu menyelesaiakan pada kasus pertama dan tidak mampu pada kasus kedua.
Pemahaman (understanding) merupakan bagian dari the cognitive process dimension pada Taksonomi Bloom. Menurut Anderson dan Krathwohl (2001), jika siswa memahami suatu objek materi matematika maka ia mampu “Construct meaning from instructional messages, including oral, written, and graphic communication”.
Dari pengertian ini ada 7 aspek yang termuat dalam kemampuan pemahaman, yaitu interpreting (menginterpretasikan/menafsirkan), exemplifying (memberikan contoh), classsifying (mengklasifikasikan), summarizing (merangkumkan), inferring (pendugaan), comparing (membandingkan) dan explaining (menjelaskan).
Interpreting/menginterpretasikan/menafsirkan yaitu suatu kemampuan menafsirkan suatu objek yang diawali dengan proses perubahan representasi (numerik) yang satu ke representasi yang lainnya (secara verbal). Misalnya, menguraikan sesuatu dengan kata-katanya sendiri, menafsirkan gambar-gambar dengan kata-kata, menafsirkan kalimat/kata-kata dengan gambar, menafsirkan bilangan-bilangan dengan kata-kata atau sebaliknya. Sebagai contoh soal mengenai interpreting/menginterpretasikan adalah : Putri membeli sebuah meja belajar untuk anaknya, jika harga yang ditawarkan penjual Rp 600.000,- dengan diskon 20%, berapa harga yang harus bayar Putri?
Exemplifying/memberikan contoh terjadi ketika seseorang memberikan sebuah contoh khusus yang instan dari suatu konsep umum. Misalnya, mengidentifikasikan suatu kejadian/contoh-contoh definisi dari suatu konsep umum (seperti segitiga sama kaki harus memiliki dua sisi yang sama panjang) dan menggunakan keistimewaan untuk memilih atau membangun suatu spesifikasi contoh tersebut (dapat memilih suatu segitiga sama kaki dari sekumpulan segitiga). Nama lain pemberian contoh ini, yaitu pengilustrasian dan penginisialisasian.
Classsifying/mengklasifikasikan, terjadi jika seorang siswa merekognisi terhadap suatu contoh/kejadian menjadi suatu katogiri/konsep/prinsip tertentu. Misalnya mendeteksi contoh-contoh bentuk yang relevan antara contoh khusus dan konsep. Mengklasifikasikan adalah sebuah proses komplementer yang mendorong terjadinya pemberian contoh. Dimana pemberian contoh dimulai dengan sebuah konsep umum dan mendorong siswa untuk menemukan sebuah contoh instan yang khusus, dengan demikian mengklasifikasikan dimulai dengan sebuah contoh khusus dan mendorong siswa untuk menemukan sebuah konsep umum. Misalnya, sebuah objek dapat ditetapkan menjadi sejumlah katagori-katagori (siswa ditanya tentang semua bilangan-bilangan yang ada dalam daftar dan memiliki kategori yang sama). Nama lain mengklasifikasikan, yaitu mengkatagorisasikan dan menggolongkan.
Summarizing/merangkumkan, terjadi ketika siswa memberi kesan sebuah statemen tunggal yang mewakili suatu informasi yang disajikan, atau abstrak dari sebuah tema umum. Yang termasuk merangkum adalah membangun sebuah representasi suatu informasi dari suatu peran. Mengabstraksi sebuah rangkuman berarti seperti menentukan sebuah tema utama. Nama lain merangkum adalah menggeneralisasikan dan mengabstraksikan. Sebagai contoh indikatornya, yaitu siswa dapat menentukan jumlah sudut dalam sebuah segitiga yang berkaitan dengan sudut luarnya.
Inferring/menduga/pendugaaan, yaitu menemukan sebuah bentuk dari sejumlah contoh-contoh yang serupa, menduga suatu objek terjadi ketika seseorang dapat membuat suatu abstrak dari sebuah konsep/sejumlah contoh-contoh melalui hubungan pengkodean contoh-contoh yang relevan. Sangatlah penting menggunakan hubungan penotasian diantara contoh-contoh tersebut, diberikan pada siswa di setiap jenjang pendidikan. Sebagai contoh, ketika siswa diberikan sejumlah bilangan berurut seperti 1, 2, 3, 5, 8, 13, 21, …, maka siswa dapat memfokuskan pada nilai-nilai bilangan pada masing-masing contoh yang tidak relevan seperti digit yang ganjil atau genap. Infering terjadi ketika siswa dapat membedakan bentuk dari sejumlah bilangan yang satu dengan bilangan sebelumnya, bilangan berikutnya adalah jumlah dua bilangan sebelumnya. Proses pendugaan suatu objek termasuk membuat perbandingan diantara sekumpulan konteks tertentu. Dari contoh di atas, jika siswa dapat menetapkan bilangan apa yang akan terbentuk selanjutnya, maka ia harus mengidentifikasi pola bilangan tersebut. Sebuah proses yang berhubungan dengan menggunakan suatu pola dalam mengkreasi sebuah contoh yang baru (misal, menentukan bilangan selanjutnya 34 dari jumlah 13 dan 21) adalah sebuah proses asosiatif kognitif dengan aplikasinya. Menduga/inferring dan executing sering digunakan secara bersamaan pada tugas-tugas kognitif. Menduga berbeda dengan attributing/mengatributisasikan. Mengatributisasikan adalah sebuah proses kognitif yang diasosiasikan dengan penganalisaaan, sedangkan menduga berfokus pada isu-isu yang menyebabkan bentuk dasar pada informasi yang disajikan. Menduga terjadi dalam sebuah konteks yang menyediakan sebuah harapan apa yang diduga. Nama lain menduga, yaitu mengektrapolasi, interpolasi, memprediksi, dan mengkonklusikan. Sebagai contoh ilustrasi perhatikan hal berikut: Dugalah sebuah persamaan yang memenuhi hal berikut, jika x = 1, maka y = 0, jika x = 2, y = 3, dan jika x = 3 maka y = 8.
Comparing /membandingkan, yang termasuk istilah ini adalah mendeteksi keserupaan dan perbedaan antara dua hal atau lebih suatu objek, kejadian, idea, masalah atau situasi seperti menetapkan bagaimana sebuah peristiwa diketahui dengan baik (Misal tentang skandal politik yang baru saja terjadi). Membandingkan berarti juga menemukan korespondensi satu-satu antara elemen-elemen dan bentuk pola suatu objek, kejadian, dan idea yang lainnya. Ketika menggunakan kunjungsi dengan menduga (Misal, pertama, mengabstraksi sebuah aturan dari situasi yang sangat dikenal) dan mengimplementasikan (Misal, kedua, menggunakan aturan pada situasinya yang kurang dikenal), membandingkan dapat berkontribusi pada penalaran analogi. Alternatif membandingkan, yaitu mengkontraskan, memasangkan, dan memetakan. Membandingkan terjadi jika seorang siswa diberikan sebuah irformasi baru, seorang siswa mendeteksinya dengan mengkorespondesikan dengan pengetahuan yang lebih dikenalnya, misalnya sebuah objek sampel dapat dipelajari dengan membandingkan secara struktur pada soal-soal cerita yang familiar.
Sebagai contoh soal comparing perhatikan soal-soal berikut :
1. Putri dan Gilang anaknya Pak Kurni, Santi, Fitri dan Intan anaknya Pak Medy, sedangkan Eka dan Galih anaknya Pak Ance. Buatlah pemetaan yang menyatakan hubungan antara anak dan ayah.
2. Perhatikan pola gambar berikut:


pola 1 pola 2 pola 3 pola 4
Tentukan banyaknya segitiga pada pola berikutnya!
Explaining/menjelaskan, terjadi ketika seorang siswa dapat mengkostruksi dan mengunakan penyebab dan efek model sebuah sistem. Model mungkin diambil dari sebuah teori formal (sering terjadi pada kasus kejadian di IPA) atau mungkin merupakan dasar dalam penelitian atau pengalaman (sering pada situasi masalah pada pelajaran IPS dan humaniora). Sebuah penjelasan yang komplek, seperti mengkontruksi sebuah sebab dan efek model, termasuk bagian utama sebuah sistem dan menggunakan model untuk menetapkan bagaimana sebuah perubahan dalam suatu bagian suatu sistem atau jaringan mempengaruhi perubahan dari bagian yang lainnya. Alternatif menjelaskan, yaitu mengkontruksi sebuah model. Contoh soal Explaining untuk mengkontruksi sebuah model dapat diperhatikan di bawah ini.
Perhatikan model lingkaran di bawah ini, bagaimanakah bentuk model lingkaran pada baris yang terakhir ?






Dengan memperhatikan penjelasan dan pengertian tentang pemahaman-pemahaman matematik di atas, maka bentuk pemahaman yang akan dikaji dalam penelitian adalah pemahaman yang sesuai dengan pemahaman (understanding) yang merupakan bagian dari the cognitive process dimension pada Taksonomi Bloom menurut Anderson dan Krathwohl (2001) di atas.

B. Belajar Matematika dengan Pemahaman
Agar seseorang dapat merasakan manfaat matematika dalam kehidupan sehari – hari, ataupun dalam dunia kerja, maka ketika ia belajar matematika, ia harus mencapai pemahaman yang mendalam dan bermakna akan matematika. Salah satu sasaran yang perlu dicapai siswa untuk memperoleh pemahaman yang mendalam dan bermakna adalah memahami matematika yang dipelajarinya melalui pengkonstruksian pemahaman pengetahuan yang dipelajarinya. Oleh karena itu, untuk memperoleh pemahaman dalam belajar matematika, materi yang dipelajari harus disesuaikan dengan jenjang atau tingkat kemampuan berpikir siswa.
Pemahaman yang diperoleh ketika belajar matematika dengan pemahaman dapat menumbuhkan kemampuan pemahaman matematik dan gagasan-gagasan matematik seperti : interpreting (menafsirkan), exemplifying (memberikan contoh), classsifying (mengklasifikasikan), summarizing (merangkumkan), inferring (pendugaan), comparing (membandingkan) dan explaining (menjelaskan). Berpikir matematik dan gagasan inilah yang diperlukan untuk meraih manfaat matematika dalam kehidupan sehari – hari sekaligus untuk meningkatkan kemampuan pemahaman berikutnya sehingga secara terus menerus pemahaman ini akan berperan dalam peningkatan pemecahan masalah matematiknya.
Seorang pendidik yang mengajar matematika dapat merangsang peserta didiknya untuk mencapai pemahaman, salah satunya melalui pendekatan kontesktual. Pendekatan ini, penekanan pembelajarannya pada pengkonstruksian pengetahuan yang dipelajarinya dengan cara mengkoneksikan pengetahuan sebelumnya, sehingga ketika mengajarkan topik tertentu dapat memberikan indikasi yang dapat diamati seorang guru terhadap pemahaman yang telah dicapai siswa. Salah satu indikasinya adalah tumbuhnya kemampuan siswa dalam mengkomunikasikan konsep yang dipahami ataupun gagasan – gagasan matematik serta mampu memecahkan suatu permasalahan matematika yang dihadapinya sebagai suatu hasil proses pemahaman gagasan dan berpikir matematiknya.
Proses-proses pemahaman matematik sejalan dengan apa yang telah dikembangkan oleh Piaget (Ruseffendi, 1988:133), yaitu mengenai proses seorang anak belajar melalui pengalamannya. Proses pemahaman matematik dalam suatu kegiatan belajar mengajar dapat digambarkan seperti berikut :
1. Menangkap ide yang dipelajari melalui pengamatan yang dilakukan. Hal – hal yang dapat diamati dapat bersumber dari apa yang dilakukan sendiri ataupun dari apa yang ditunjukkan oleh orang lain. Misalnya, penjumlahan 2 + 3 dapat diselesaikan oleh siswa karena mengamati kegiatan penggabungan dua buah apel hijau dan tiga buah apel merah. Hasil pengamatan yang dilakukan secara berulang – ulang merupakan awal terbentuknya pengetahuan siswa tentang konsep operasi penjumlahan.
2. Mengkonstruksi pengetahuan yang baru dengan skema pengetahuan yang telah ada sebelumnya. Sebagai contoh, siswa yang belajar penjumlahan dan pengurangan bilangan – bilangan desimal akan mudah mencapai pemahaman apabila siswa telah memiliki pengetahuan prasyaratnya tentang operasi penjumlahan bilangan bulat dan penjumlahan secara bersusun.
3. Mengorganisasikan kembali pengetahuan yang telah terbentuk dengan cara mengkoneksikan pengetahuan yang lama lama dengan pengetahuan baru yang telah terbentuk, disusun, ditata ulang kembali sehingga terbentuk jaringan peta hubungan pengetahuan yang baru hasil modifikasi dari jaringan hubungan – hubungan yang lama. Seperti pada contoh di atas siswa akan memodifikasi prinsip penjumlahan bilangan bulat untuk digunakan pada penjumlahan bilangan – bilangan desimal.
4. Membangun pemahaman pada setiap belajar matematika akan memperluas pengetahuan matematika yang dimiliki. Semakin luas pengetahuan tentang ide/gagasan matematik yang dimiliki semakin bermanfaat dan memberikan peluang dalam memecahkan masalah matematik yang dijumpai.
Adapun prinsip pembelajaran untuk memperluas pengetahuan matematika yang dimiliki dapat dilakukan dengan cara melontarkan permasalahan yang sangat kompleks pada siswa, mendiskusikannya secara berkelompok dari salah satu konsep/disiplin ilmu kemudian didiskusikan secara menyeluruh dari berbagai konsep/disiplin ilmu, sehingga mendapatkan pemecahan dari berbagai segi tinjauan.
Selanjutnya Hebert dan Carpenter (Dahlan, 2004) mengemukakan suatu konsekuensi positif terhadap pengetahuan yang diperoleh dalam belajar matematika dengan pemahaman, yaitu sebagai berikut :
1. Bersifat generatif. Artinya, pengetahuan yang terbentuk dari hasil belajar dengan pengertian, sewaktu – waktu dapat dimunculkan kembali (distimulasi). Penstimulasian tersebut terjadi karena diterimanya informasi baru yang tergabung dengan pengetahuan lama. Memahami tentang informasi baru yang diperoleh dari hasil belajar melahirkan pengetahuan baru. Apabila proses seperti ini berlangsung secara terus-menerus, setiap menerima informasi baru dari hasil belajar selalu dipahami, dengan kata lain selalu belajar dengan pemahaman, maka kemampuan pemahaman sesuatu pengetahuan yang dimiliki akan semakin dalam dan luas.
2. Bermakna. Menyesuaikan antara tugas – tugas belajar dengan kemampuan berfikir siswa akan menunjang pencapaian pemahaman yang akan dibangun oleh siswa dalam belajar matematika. Menyesuaikan antara materi pelajaran dengan kemampuan berfikir siswa memungkinkan kegiatan belajar menjadi bermakna. Hal ini disebabkan siswa dapat memunculkan pengetahuan lama yang telah dimiliki, yang diperlukan untuk memahami pengetahuan yang baru dipelajari, sehingga dapat memudahkan menyelesaikan permasalahan.
3. Memperkuat Ingatan dan Mengurangi Jumlah Informasi yang Harus Dihafal. Pengetahuan dari hasil belajar dengan pemahaman selalu dapat dimunculkan kembali dengan baik karena pengetahuan dalam struktur kognitif tersebut diperoleh secara bermakna. Jika suatu pengetahuan diperoleh dengan pemahaman maka akan semakin tertanam pengetahuan tersebut dalam ingatan/struktur kognitif. Hal ini menunjukkan semakin sedikitnya informasi – informasi dalam pengetahuan yang harus dihafal. Disamping itu kebermaknaan pemahaman yang dicapai dalam belajar memungkinkan informasi – informasi yang telah dipelajari mudah dimunculkan kembali setiap kali diperlukan.
4. Memudahkan Transfer Belajar. Terjadinya transfer dalam belajar dengan pengertian atau pemahaman karena adanya persamaan dan keterkaitan konsep konteks antara pengetahuan baru yang akan dipelajari dengan pengetahuan lama akan dengan cepat dapat dimunculkan kembali saat diperlukan dalam memecahkan aplikasi suatu permasalahan. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh Hudojo (1998:27) bahwa transfer dalam belajar merupakan pemanfaatan kembali informasi yang sudah dipelajari yang kemudian diaplikasikan ke konteks baru dan berbeda.
5. Mempengaruhi Kepercayaan. Siswa yang belajar dengan pemahaman selalu akan memunculkan pengetahuan – pengetahuan yang saling berhubungan secara sistematis dalam struktur kognitif. Pengetahuan – pengetahuan lama yang terbentuk dalam struktur kognitif diperlukan untuk memahami informasi yang baru diterima dari hasil belajar. Keadaan semacam ini dapat menumbuhkan kepercayaan, self eficacy terhadap kemudahan memahami pengetahuan yang diperoleh, khususnya dalam belajar matematika.



C. Karakteristik Siswa yang Bermasalah dalam Memahami Masalah Matematika serta Cara Penanganannya.
Karakteristik-karakteristik seorang siswa yang mempunyai masalah dalam belajar matematika sehingga kemampuan pemahaman matematik dalam memecahkan masalahnya rendah, menurut Mercer et al (1998) adalah sebagai berikut :
1. Learned Helplessness, siswa yang berulangkali mengalami pengalaman-pengalaman kegagalan dalam belajar matematika sehingga bila menghadapi permasalahan matematik ia mengira akan mengalami kegagalan kembali.
2. Passive Learners, siswa yang memiliki permasalahan belajar matematika biasanya tidak aktif dalam belajarnya, ia cenderung pasif. Mereka tidak secara aktif membangun pemahamannya tentang suatu konsep matematik, mereka tidak mampu membuat koneksi pengetahuan yang ada/baru dengan apa yang dipresentasikan/dihadapi. Bahkan ketika dipresentasikan sebuah problem-solving situation, mereka tak memiliki strategi (activate prior knowledge) untuk menyelesaikan permasalahannya. Sebagai contoh, ketika siswa belajar tentang perkalian 8 x 4 mereka dapat menjawab 32, tetapi ketika dipresentasikan 8 x 5 = ___, mereka tidak mampu menyelesaikannya. Hal ini terjadi karena mereka tidak secara aktif melakukan pengkoneksian proses perkalian sebagai penjumlahan yang berulang. Mereka tidak mampu berpikir bahwa penjumlahan berturutan delapan buah angka empat sehingga menghasilkan tiga puluh dua merupakan bagian pemecahan masalah yang dihadapinya. Siswa-siswa yang memiliki permasalahan ini percaya bahwa siswa yang hanya sukses matematika sajalah yang dapat menjawabnya. Mereka tidak memahami bahwa siswa-siwa yang sukses dalam matematika adalah mereka yang memiliki strategi yang baik dalam memecahkan permasalahan melalui koneksi pengetahuan yang ada dengan informasi pengetahuan yang baru.
3. Memory Problems. Memori yang deficits berperan secara signifikan pada siswa-siswa yang bermasalah dalam PBM matematika. Memory problems adalah bagian terbesar masalah ketika siswa sulit mengingat tentang dasar konsep addition, subtraction, multiplication, & division facts, maka memori yang defisit ini berperan juga ketika siswa akan menyelesaikan multi-step problems dan terlebih lagi ketika menghadapi situasi problem-solving yang mengharuskan menggunakan strategi yang khusus dalam menyelesaikan permasalahannya. Biasanya, memory problems berasal dari miskonsepsi-miskonsepsi matematik yang ada pada diri siswa sehingga menjadi kumpulan masalah yang mengakibatkan siswa tak mampu menggunakan sifat/konsep matematik dalam memecahkan masalah yang dihadapinya. Oleh karenanya para pendidik hendaknya melakukan re-teach, agar siswa memiliki kemampuan pemahaman konsep matematik sehingga mereka mampu memecahkan suatu situasi permasalahan yang dihadapinya.
4. Attention Problems. Matematika memerlukan perhatian yang besar dan penanganan secara khusus, yaitu ketika melakukan langkah PBM dalam proses penyelesaian suatu masalah. Selama PBM siswa sering "miss" important pieces of information. Tanpa bagian informasi/pengetahuan yang penting ini, siswa akan mengalami kesulitan dalam mencoba dan mengimplementasikan pengetahuan/pemahaman konsep yang dimiliki dalam memecahkan situasi task problem solving. Sebagai contoh, ketika siswa belajar tentang pembagian secara long division, siswa mungkin salah pada step pengurangan, perkalian, pembagian, sehingga proses penyelesaian pembagian bersusun secara akurat yang dilakukan siswa akan mengalami kegagalan.
5. Cognitive/Metacognitive Thinking Deficits. Metakognitive adalah kemampuan yang dimilki siswa dalam memonitor pembelajarannya, yaitu seperti: (1) Evaluating whether they are learning; (2) Employing strategies when needed; (3) Knowing whether a strategy is successful; and, (4) Making changes when needed. Ini adalah kemampuan yang esensial untuk menyelesaikan suatu permasalahan matematik yang dijumpai siswa, baik yang berkaitan dengan permasalahan tentang pemahaman konsep, kehidupan sehari-hari ataupun situasi problem solving lainnya. Siswa yang tak memiliki kemampuan metakognitif akan mengalami kesulitan yang sangat besar untuk menjadi sukses dalam belajar matematika. Oleh karena itu, para siswa memerlukan proses pembelajaran secara ekplisit bagaimana menjadi peserta didik yang memiliki kemampuan metakognitif. Misalnya, guru menjadi model pada proses ini, dia mengajarkan siswanya melalui strategi problem solving, mendorong siswanya untuk menggunakan strategi yang sudah disusun, mengajarkan siswanya untuk dapat mengorganisasikan diri secara mandiri melalui strategi yang dipilih guru, sehingga akan menolong siswa menjadi metacognitive learners. Melalui cara pengkonstruksian pengetahuan ini, siswa dapat memahami suatu konsep matematik dan menjadi problem solver yang handal.
6. Low Level of Academic Achievement. Siswa-siswa yang memiliki pengalaman gagal dalam memecahkan permasalahan, biasanya siswa yang kurang memiliki basic math skills. Hal ini akan mengakibatkan ketidakmampuan siswa dalam memahami konsep matematik dan mengimplementasikan konsepnya dalam memecahkan permasalahan-permasalahan matematik, ataupun mempelajari konsep pengetahuan matematika selanjutnya yang lebih tinggi. Menyiapkan dan memberikan kesempatan siswa untuk merespon dan berlatih tugas-tugas matematika dengan berbagai cara adalah penting, karena para siswa akan diberi peluang menjadi seorang master pada konsep matematikanya. Selain itu, para guru hendaknya merencanakan pengulangan/pemeriksaan latihan konsep/kemampuan pada siswa yang low level of academic achievement secara periodik, sehingga mereka memiliki kemampuan yang mumpuni dan benar-benar tuntas PBM-nya.
7. Math Anxiety. Siswa-siswa yang merasa cemas dalam belajar matematika sering melakukan penyelesaian/pendekatan matematik dengan ragu-ragu bahkan takut dalam belajar matematika. Baginya matematika adalah pekerjaan yang sangat menyulitkan, "bahkan saat belajar matematika/”math time" dalam belajar matematika biasanya sering menjadi pengalaman perjalanan yang mencemaskan. Obat mujarab bagi siswa yang memiliki math anxiety adalah kesuksesan. Memberikan kesempatan sukses bagi siswa, pertama-tama dapat dilakukan oleh guru melalui soal-soal pemahaman yang beragam dari yang mudah hingga menuju yang sedikit sukar, dengan demikian siswa akan memulai belajar menjadi sukses dalam mempelajari matematika. Siswa-siswa yang memiliki rasa cemas berlebihan ketika belajar matematika akan selalu merasa tak mampu belajar matematika sebagaimana mestinya, bahkan memecahkan masalah rutin matematik yang dihadapinya tidak mampu diselesaikannya. Memperlakukan para siswa yang memiliki sikap seperti ini tanpa non-threatening dan risk-free yang tepat, akan membesarkan hati siswa dalam PBM, sehingga merayakan ataupun memberikan motivasi ketika siswa dapat menyelesaikan suatu permasalahan yang mudah maupun yang rumit merupakan bagian penting dalam PBM. Artinya, jika para pendidik menyediakan instruksional pembelajaran yang tepat dan efektif bagi para siswa seperti ini, maka kita akan dapat menolong mereka dalam belajar matematika selanjutnya. Walaupun demikian, yang perlu diperhatikan seorang pendidik dalam memberi peluang pengalaman sukses siswa dalam PBM, harus dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip pedagogis.
Dengan memperhatikan karakteristik-karakteristik siswa yang bermasalah dalam mempelajari matematika, maka hal-hal yang dapat dilakukan oleh seorang pendidik agar dapat membantu peserta didiknya belajar matematika menurut National Research Council's pada The National Academies (2002) adalah :
1. Menjalankan dan mempunyai commited idea bahwa semua siswa dapat menjadi cakap dalam bermatematika.
2. Mengembangkan dan memperdalam pemahaman cara berpikir matematik siswanya serta teknik-teknik yang mengarah pada kecakapan matematik.
3. Menekankan pada pembuat kebijakan, para administrator, para orang tua, siswa-siswa untuk mencapai kemampuan dan kecakapan matematika adalah penting.
4. Menggunakan program serta pendekatan pembelajaran dan subjek mater yang dilandasi oleh bukti scientific yang terbaik, sehingga mendorong pengembangan pemahaman dan kecakapan matematik siswanya.
5. Melakukan PBM matematika dengan waktu yang mencukupi dan proporsional, sehingga perlu dipilih metode pembelajaran yang sesuai dengan sarana, prasarana serta kemampuan prasyarat yang telah dimiliki siswa.
6. Terlibat/ikut serta secara proporsional dan profesional dalam aktivitas pengembangan yang menginterasikan matematika, cara berpikir siswa dan teknik-teknik instruksional pembelajarannya.
7. Mendukung, menopang pengembangan aktivitas profesional yang koheren, sehingga pembelajaran dapat mencapai kecakapan matematik yang diinginkan.
8. Mengorganisasikan dan berpartisipasi dalam study grup di sekolah yang memfokuskan praktek pembelajaran.
9. Melakukan percakapan/diskusi dengan teman sejawat tentang pengembangan kemampuan/kecakapan, tentang siswa dan kemampuan matematiknya.
10. Menjadi seorang penasehat pada teman sejawat, bagaimana proses belajar mengajar matematika dilakukan agar siswa mencapai kemampuan yang diharapkan.
Dengan demikian seorang pendidik, khususnya guru matematika hendaknya memiliki juga kemampuan dan ketrampilan yang dapat meningkatkan pemahaman matematika dan menumbuhkan berpikir matematika pada peserta didiknya. Menurut Utari (2004:4-5) ketrampilan dan kemampuan yang harus dimiliki seorang pendidik agar siswa memiliki kemampuan doing math adalah :
1. Berfikir abstrak logis, rasional, sistematik, kritis, kreatif, obyektif, terbuka, cermat jujur, efesien, serta membantu peserta didik agar memiliki kemampuan tersebut.
2. Memahami kaitan antar konsep matematik.
3. Menyusun model matematika dan menyelesaikannya dari suatu mathematical problem solving.
4. Menyederhanakan penjelasan konsep-konsep abstrak sesuai dengan dengan perkembangan peserta didik.
5. Meningkatkan kemampuan peserta didik mengemukakan temuan atau idea matematika dengan bahasanya sendiri, serta meningkatkan daya abstraksinya.
6. Mendorong peserta didik agar bersemangat melakukan doing math.
7. Menerapkan konsep matematika dalam permasalahan IPA dan bidang studi lain, atau dalam kehidupan sehari-hari.
8. Menggunakan bahasa simbol yang tepat dan konsisten.
9. Menyiapkan peserta didik mempunyai kepercayaan diri, daya juang/saing agar sanggup menghadapi perubahan dan persaingan globalisasi di masa yang akan datang.



























BAB II
PEMECAHAN MASALAH MATEMATIK

A. Sejarah Pemecahan Masalah
Manusia menyelesaikan/memecahkan suatu masalah, dimulai sejak awal keberadaannya. Biasanya pemecahan suatu masalah dilakukan dengan cara coba-coba. Bagaimanapun, efektivitas dan kepercayaan masalah yang original, prefentivitas, solusi, dan tantangan solusi tidak dimulai seperti ketika para ilmuwan mengatur ulang dan mengembangkan metode eksperimen, metoda yang biasanya disebut metode ilmiah.
Sepanjang sejarahnya, metode ilmiah/pemecahan masalah sering dipandang sebagian besar sebagai suatu metoda dari para ilmuwan. Di sini ada beberapa indikasi metode ilmiah yang sebenarnya merupakan suatu metoda umum.
Menurut Darwiniana (Edmund, 2007), dalam buku yang berjudul We Are All Scientists (1863), dan dicetak ulang dalam buku A Treasury of Science (1948), dan menurut T.H. Huxley (1825-1895; Ahli biologi dan ahli Filsafat Inggris), mereka menyatakan pemecahan masalah yaitu :“The method of scientific investigation is nothing but the expression of the necessary mode of working of the human mind. It is simply the mode at which all phenomena are reason about, rendered precise and exact.” "Penyelidikan dari metoda ilmiah tak lain hanyalah ungkapan gambaran metode yang penting tentang bagaimana kerja pikiran manusia. Itu hanyalah mode sederhana pada semua gejala yang mempunyai penalaran secara tepat dan eksak."
Menurut Albert Einstein yang hidup dari tahun 1879-1955 ahli fisika dan moyangnya ahli fisika teori relativitas (Edmund, 2007) dalam bukunya yang dicetak pada tahun 1950 dengan judul Out of My Later Years, pemecahan masalah merupakan : “The whole of science is nothing more than a refinement of everyday thinking. It is for this reason that the critical thinking of the physicist cannot possibly be restricted to the examination of the concepts of his own special field.” Semua ilmu pengetahuan tak lain hanyalah suatu penyulingan/perbaikan dari pemikiran sehari-hari. Untuk penalaran berpikir kritis inilah para ahli ilmu fisika itu tidak mungkin bisa terbatas pada pengujian konsep-konsep dari bidang spesialnya sendiri"
Menurut ahli filsafat pendidikan Irwin M. Copi tahun 1917 (Edmund, 2007), pengarang buku pengantar logika Introduction to Logic tahun 1982, pemecahan masalah adalah “As the term ‘scientific’ is generally used today, it refers to any reasoning which attempts to proceed from observable facts of experience to reasonable (that is, relevant and testable) explanations for those facts. The scientific method is not confined to professional scientists: anyone can be said to be proceeding scientifically who follows the general pattern of reasoning from evidence to conclusions that can be tested by experience. The skilled detective is a scientist in this sense, as are most of us – in our more rational moments, at least.” "Seperti istilah 'ilmiah' yang secara umum digunakan sehari hari, hal itu mengacu pada setiap penalaran yang mencoba untuk mengobservasi fakta-fakta yang tampak dari pengalaman yang relevan dan teruji berdasarkan penjelasan-penjelasan untuk fakta-fakta tersebut. Penggunaan metode ilmiah tidak terbatas pada para ilmuwan profesional: siapapun dapat dikatakan sedang melakukan proses secara ilmiah yang mengikuti pola umum pengalaman tentang penalaran dari suatu pembuktian menuju kesimpulan-kesimpulan yang teruji. Sebagai contoh : Reserse yang trampil adalah seorang ilmuwan yang memiliki sense yang merupakan bagian terbesar dan lebih masuk akal bagi kita,."
Dengan demikian menurut sejarahnya, metode ilmiah/pemecahan masalah didefinisikan sebagai suatu metoda umum yang universal, yaitu suatu metoda yang lengkap tentang kreativitas pemecahan masalah dan pengambilan keputusan untuk semua bidang kehidupan, termasuk kehidupan pribadi kita.
Metode ilmiah itu tak cukup hanya dipahami. Pada tahun 1947 seorang pendidik dan ilmuwan yang terkenal mengklaim bahwa metode ilmiah/pemecahan suatu masalah tidak exist tetap. Ia menyatakan juga bahwa "tidak ada satu metoda." Selain itu, semua para ilmuwan dan teman-temannya serentak mengklaim bahwa itu hanyalah suatu buku teks tentang suatu metoda, tak ada metoda pemecahan masalah yang tunggal, tak ada suatu metoda yang kaku, yang ada hanyalah suatu metode yang rasional untuk memecahkan masalah, sehingga pemecahan masalah dari para ilmuwan haruslah mengikuti norma-norma dari masyarakat ilmiah dan masyarakat-masyarakat lainnya. Tanpa mengindahkan klaim-klaim ini, walaupun demikian metode ilmiah atau metode pemandu pemecahan masalah untuk mengerjakan suatu adanya gagasan yang benar disetiap waktu adalah ide yang terbesar.
Faktor-faktor ini sudah menimbulkan suatu penyimpangan pengetahuan tentang pemecahan masalah. Jadi; dengan demikian, banyak buku tentang pemecahan masalah yang sangat diketahui pengarang mengalami kegagalan untuk mengaktifkan metode ilmiah sebagai suatu metoda umum dan pemandu pemecahan masalah secara umum. Tetapi bagaimanapun juga, buku-buku tentang pemecahan masalah tersebut berisi pengetahuan yang berharga tentang pemecahan masalah secara umum dan pengetahuan tentang kreatifitas yang tidak logis, logis, dan teknis-teknis metoda, prosedur tentang prinsip-prinsip dan teori-teori, atribut-atribut dan ketrampilan-ketrampilan berpikir yang diperlukan di berbagai langkah-langkah metode ilmiah tentang pemecahan masalah.
Selama berabad-abad, menurut Edmund (2007) nama-nama lain telah digunakan pada suatu istilah yang pada dasarnya merupakan istilah dari metode ilmiah. Beberapa contoh dari nama-nama istilah dari metode ilmiah/pemecahan masalah adalah sebagai berikut

creative problem solving
operation research
scientific management
method of scholars
research methodology
decision making
and many more ...
Kreativitas pemecahan masalah
Operasi riset
Manajemen ilmiah
Metoda para sarjana
Metodologi penelitian
Pengambilan keputusan, dll method ofinvention
method of discovery
pattern of investigation
method of study
experimental method
process of inquiry


Metoda penemuan
Metode discoveri
Bentuk suatu pola penyelidikan
Metoda dari studi
Metode ekperimental
Proses dari inkuiri/penemuan


Menurut pengalaman, cara yang dilakukan orang agar segera dapat belajar memecahkan suatu masalah, yaitu dengan memecah secara rinci setiap masalah yang rumit, memisahkan dan memecahkan sub permasalahan dan sub-sub masalah sebelum sampai pada penyelesaian dari masalah utamanya. Jika masalah yang dihadapi bersifat kompleks dan penting, maka sub permasalahan perlu juga dipecahkan mengikuti cara tertentu yang sudah ada.

B. Pemecahan Masalah Matematik
Pemecahan masalah dapat dipandang sebagai teknik, pendekatan dan tujuan dari suatu pembelajaran matematika.
Pemecahan masalah sebagai teknik berarti suatu teknik dalam pembelajaran matematika untuk menemukan jalan penyelesaian dari suatu permasalahan matematik. Polya dengan metode heuristiknya (Posamentier dan Stepelmen, 2002: 110) menyatakan bahwa menyelesaikan suatu masalah berarti menemukan jalan, dimana jalan itu belum pernah diketahui sebelumnya, menemukan jalan keluar dari kesulitan, jalan melewati rintangan, mendapatkan hasil akhir tidak secara tiba-tiba dengan hasil yang tepat. Selanjutnya Polya (Posamentier dan Stepelmen, 2002: 111) mengemukakan ada empat tahap atau langkah yang dapat ditempuh dalam pemecahan masalah, (1) Memahami masalah (Understanding the problem solving), (2) Membuat rencana pemecahan (Divising a plan), (3) Melakukan perhitungan (Carrying out the plan) dan (4) Memeriksa kembali hasil yang diperoleh (Looking back ).
Tahap 1, teknik memahami masalah. Seorang siwa dikatakakan memahami suatu masalah berarti ia mengetahui apa yang diketahui, apa yang tidak diketahui, apa yang ditanyakan, apa yang merupakan datanya dan apa yang merupakan kondisi dari suatu masalah tersebut. Teknik untuk memudahkannya, tentu siswa tersebut bisa membuat suatu diagram dan notasi yang sesuai dari permasalahan tersebut. Sebagai contoh masalah problem solving untuk siswa SD (NCTM, 1989) adalah: Saya memiliki uang berupa beberapa recehan koin-koin, yang terdiri dari beberapa sen, nekel (1 nikel = 5 sen) dan beberapa dime (1 dime = 10 sen) dalam saku saya. Saya meletakan 3 dari koin-koin tersebut di atas tangan saya. Berapa banyaknya uang yang ada dalam genggaman tanganku ?. Siswa yang memahami masalah berarti ia memahami apa yang diketahui, yaitu ; ada beberapa uang recehan berupa koin-koin sen, koin-koin nikel, dan koin-koin dime; ada tiga koin uang di genggaman tangan. Selanjutnya memahami apa yang ditanyakan, yaitu : berapa jumlah total uang yang ada di dalam tangan. Siswa yang memahami masalah, salah satu tekniknya diarahkan untuk menggambar tabel atau diagram yang bisa memudahkannya dan lebih memahami masalah tersebut. Salah satunya adalah seperti Tabel 1 di bawah ini:
Tabel 1. Tabel Koin
Sen (Pennies) Nickels Dimes Total Nilai


Tahap 2, tehnik dalam membuat rencana. Seorang siswa yang mampu membuat atau merumuskan suatu rencana, berarti ia mampu menemukan hubungan di antara data, apa yang diketahui dan tidak diketahui. Selain itu, ia akan mencari hubungan apakah ia pernah menemukan kasus yang serupa seperti ini, rumusan dan metode penyelesaian mana yang akan dipakainya. Artinya, dari contoh soal di atas, setelah siswa mengetahui hubungan antara nilai koin-koin uang recehan (sen, nikel dan dime). Misalkan, nilai mata uang 1 dime = 10 sen, 1 nikel = 5 sen. Tentu siswa harus merencanakan teknik pengisian tabel, berapa koin yang sebaiknya di isi pada daftar tabel 1 di atas, sesuai jumlah koin yang diminta.
Tahap 3, teknik menjalankan rencana/melakukan perhitungan. Pada tahap ke tiga ini, Polya (Wahyudin, 2004) menganjurkan hendaknya kita/problem solver memeriksa tiap langkah, apakah kita mampu melihat bahwa masing-masing langkah itu benar dan apakah kita dapat membuktikan bahwa langkah yang dilakukan benar. Dari contoh soal koin di atas, siswa yang mampu melakukan tahap-tahap ini berarti ia mampu mengisi berapa koin yang seharusnya ada pada baris 1 tabel koin tersebut, misalnya banyak koin di tangan ada 3 sehingga total uang yang ada dalam genggamannya 30 sen. Sebagai gambarannya, perhatikan baris ke satu pada Gambar 1 di bawah tentang pekerjaan siswa dalam menjalankan rencana solusi masalah tersebut.







Gambar 1. Pekerjaan Siswa dalam Menyelesaikan Masalah

Tahap 4, teknik memeriksa kembali hasil yang diperoleh. Pada saat siswa mampu meninjau kembali hasil pekerjaannya, maka tentu ia akan memeriksa hasil yang diperoleh (pada baris 1), ia akan mencari argumen untuk memeriksanya, kemudian apakah hasil yang ada dapat digunakan untuk masalah yang lainnya, apakah ada cara lain yang dapat digunakan. Sehingga saat siswa melakukan hal tersebut, dalam pikirannya terjadi konflik kognitif. Misalnya, bagaimana kalau jumlah dime bukan 3 koin ?. Mungkin siswa akan mengisi jumlah nikel 1 koin dan jumlah dime 2 koin (baris ke dua) sehingga total uang yang ada 25 sen; atau nikelnya 2 koin dan dime-nya 1 koin (baris ke tiga) sehingga jumlah total uangnya 20 sen; atau banyaknya koin nikel di tangan ada 3 koin sehingga jumlahnya 15 sen, begitu seterusnya. Teknik memeriksa kembali ini, akan memungkinkan siswa melihat berbagai fenomena penyelesaian yang bisa dilakukan.
Pemecahan masalah sebagai pendekatan berarti suatu proses dimana siswa menemukan kombinasi dan aturan-aturan yang telah dipelajari sebelumnya yang dapat dipakai untuk memecahkan masalah yang dihadapi, hal ini sesuai dengan pendapat Utari (2004) yang menjelaskan bahwa pemecahan masalah dalam pembelajaran matematika merupakan pendekatan berarti suatu cara untuk menemukan dan memahami materi atau konsep matematika. Wahyudin (2004), menyatakan ada sepuluh strategi problem-solving yang dapat dijadikan dasar pendekatan mengajar seperti itu, yaitu : (1) Bekerja mundur, (2) Menemukan suatu pola, (3) Mengambil sudut pandang yang berbeda, (4) Memecahkan suatu masalah yang beranalogi dengan masalah yang sedang dihadapi tetapi lebih sederhana, (5) Mempertimbangkan kasus-kasus ekstrim, (6) Membuat gambar, (7) Menduga dan menguji berdasarkan akal yang logis, (8) Memperhitungkan semua kemungkinan, (9) Mengorganisasikan data, (10) Penalaran logis. Sebagai ilustrasi, misalnya seorang guru mendemonstrasikan sebuah pendulum yang terbuat dari seutas tali dan sebuah beban. Siswa dikondisikan bekerja dalam kelompok kecil untuk membuat pendulum, meneliti bagaimana fungsinya dan merumuskan permasalahan yang akan timbul. Pertanyaannya dapat meliputi : Berapa lama pendulum itu membentuk lingkaran ? Apa pengaruh panjang tali terhadap lingkaran ? Apa pengaruh bandul itu terhadap lingkaran ? Apa pengaruh ketinggian bandul terhadap lingkaran ketika mulai terayun ? Berapa lama pendulum itu berputar ?. Kelompok-kelompok siswa itu pertama kalinya diarahkan untuk berbagi pertanyaan dengan semua siswa di kelas tersebut, kemudian membentuk kelompok kecil untuk menentukan pertanyaan-pertanyaan yang mana akan diteliti. Mereka dapat mendiskusikan strategi dan solusi, mengajukan pertanyaan, menguji konsekuensi dan alternatif, dan bagaimana hal itu berhubungan dengan masalah sebelumnya, para kelompok siswa dibimbing, atau mereka sendiri menguji hasil-hasil, menafsirkan solusi dan menguji serta memverifikasi apakah solusi itu benar. Melalui proses pembelajaran seperti itu akan memberikan pengalaman dan keyakinan pada siswa dalam menggunakan matematika. Oleh karena itu proses belajar mengajar matematika yang menggunakan tehnik, dan pendekatan pembelajaran dengan pemecahan masalah haruslah siswa yang proaktif, siswa benar-benar berperan sebagai student center, bukannya guru yang lebih aktif dalam menyajikan materi pelajaran, guru hanyalah sebagai pembimbing, negoisator, fasilitator dan moderator. Sehingga dalam PBM siswa mencari, menemukan, mengkontruksi, merumuskan serta menyimpulkan setiap pengetahuan yang diperolehnya dalam memecahkan suatu permasalahan sendiri. Dengan demikian pemahaman matematik terhadap proses terbentuknya suatu konsep matematik benar-benar lebih diutamakan.
Selanjutnya, Utari (2004) menjelaskan pemecahan masalah sebagai sebagai tujuan pembelajaran berarti pemecahan masalah adalah suatu kemampuan mengidentifikasi unsur yang diketahui, ditanyakan serta kecukupan unsur yang diperlukan, merumuskan masalah dari situasi sehari-hari dalam matematika, menerapkan strategi untuk menyelesaikan berbagai masalah (sejenis dan masalah baru) di dalam atau di luar matematika, menjelaskan atau menginterpretasikan hasil sesuai permasalahan asal, menyusun model matematika dan menyelesaikannya untuk masalah nyata dan menggunakan matematika secara bermakna (meaningful). Utari (1994) juga mendefinisikan problem solving sebagai kemampuan menyelesaikan masalah (soal) cerita yang tidak rutin dan sangat kompleks, kemampuan mengaplikasikan matematika dalam kehidupan sehari-hari atau keadaan lain, serta membuktikan atau menciptakan dan menguji suatu konjektur.
Menurut Ruseffendi (1991) ada beberapa alasan mengapa soal-soal pemecahan masalah diberikan kepada siswa, yaitu: (1) dapat menimbulkan keingintahuan, memotivasi, dan membantu berpikir kreatif; (2) disamping memiliki pengetahuan dan keterampilan (berhitung, dan lain-lain), disyaratkan adanya kemampuan untuk terampil membaca dan membuat pernyataan yang benar; (3) dapat menimbulkan jawaban yang asli, baru, khas, dan beraneka ragam, serta dapat menambah pengetahuan baru; (4) dapat meningkatkan aplikasi ilmu pengetahuan yang sudah diperolehnya; (5) mengajak siswa memiliki prosedur pemecahan masalah, mampu membuat analisis dan sintesis, dan dituntut untuk membuat evaluasi terhadap hasil pemecahannya; (6) merupakan kegiatan penting bagi siswa yang melibatkan bukan saja satu bidang studi tetapi bila diperlukan mungkin bidang atau pelajaran lain, sehingga merangsang siswa menggunakan segala kemampuannya dalam menyelesaikan permasalahan dalam menghadapi kehidupannya kini maupun kelak di kemudian hari. Artinya, melalui problem solving siswa akan mendapatkan peluang menjadi SDM yang handal dalam menghadapi tantangan dan persaingan hidup akibat dari globalisasi. Oleh karena itu, kemampuan pemecahan masalah matematik merupakan kekuatan utama yang harus dimiliki siswa dalam pembelajaran matematika.
Dalam pembelajaran, Polya (1985) sesuai bukunya yang berjudul “How to Solve It” yang memuat tentang ‘sepuluh perintah untuk para pengajar’ (Ten Commandment for Teachers) agar dapat meningkatkan pemecahan masalah matematik siswa, maka guru dalam mengajar matematik dianjurkan memperhatikan hal sebagai berikut :
1. Be Interested in your Subject. Intereslah kepada subjek anda, dan terhadap segala keinginan pembelajar dalam mengkonstruksi pengetahuan sesuai prinsip didaktif dan metodologik. Di awal pertemuan, guru berupaya membangun komunikasi positif dengan anak didik. Berbagi pengalaman hidup, dan profil orang-orang sukses sesuai referensi yang ada. Hilangkan sekat-sekat psikologis, ingin dianggap paling tahu, dianggap “kasta” lebih tinggi. Jika sukses membangun hubungan positif itu, membuka peluang mengenali individualitas siswa yang berguna dalam memberi motivasi dan meningkatkan kemampuannya.
2. Know your Subject . Kenalilah siswa anda baik secara psikologis deduktif dan kemampuan-kemampuan kognitifnya, sehingga memberi permasalahan sesuai dalil pengkontrasan, dimulai dari yang sederhana hingga yang komplek, dari yang mudah hingga yang sukar.
3. Try to read the face of your students, try to see their expectations and difficulties, put your self in their place. Cobalah untuk membaca mimik wajah siswa, cobalah melihat harapan dan kesulitan mereka, tempatkanlah diri anda di posisi mereka. Bimbing siswa belajar untuk menemukan secara mandiri inti permasalahan dan penyelesaiannya, melalui belajar berkelompok atau diskusi, bersosialisasi, membentuk komunitas belajar yang produktif, serta pengalaman belajar bersama untuk mengembangkan pengetahuannya.
4. Realize that the best way to learn anything is to discover it by yourself. Cara terbaik belajar sesuatu adalah dengan menemukannya secara mandiri.
5. Give your students not only information, but also ‘know-how’, ‘mental attitude’, ‘the habit methodical work’. Berilah pengetahuan pada siswa bukan sekedar hanya informasi, tetapi juga ‘bagaimana mengetahui’, ‘sikap mental’, dan ‘kebiasaan kerja metodis’. Siswa adalah subjek pembelajar, sedangkan guru motivator, fasilitaor, dan director of learning. Tugas utama guru adalah membentuk karakter pembelajar mandiri. Konsekuensinya, tidak hanya “menyuapi” siswa dengan berbagai informasi, tetapi mengarahkan mereka agar menjadi seorang pemikir dan problem solver yang andal. Mereka diberi kesempatan luas untuk bertanya, mengkonstruksi pengetahuannya, menunjukkan kemampuan terbaiknya, dan menilai kemampuan diri secara objektif untuk membangun konsep diri yang prima dalam memecahkan setiap permasalahan yang dihadapinya.
6. Let them learn guessing. Biarkan mereka belajar menduga.
7. Let them learn proving. Biarkan mereka belajar membuktikan. Misalnya dengan memberikan latihan-latihan soal, kuis, simulasi, dan teka-teki masalah yang berkaitan dengan suatu kontek, untuk melatih dan menguji kemampuan berpikir mereka, agar terbiasa jika menghadapi tantangan di kehidupan nyata. Dengan cara ini, mereka akan mampu menjadi problem solver yang handal sebagai hasil suatu pembelajaran yang tersusun, terencana sesuai dengan prinsip-prinsip pedagogig.
8. Look out for such features of the problem at hand as may be useful in solving the problem to come. Try to disclose the general pattern that lies behind the present concrete situation. Lihat dan berhati-hatilah akan gambaran ciri-ciri masalah yang sudah ada ditangan kita, sehingga gambaran tersebut dapat berguna dalam menyelesaikan masalah-masalah yang kemudian. Cobalah untuk memperlihatkan pola umum yang terletak di belakang situasi kongkrit yang diberikan. Situasi ini dilakukan ketika menjadi subjek pembelajaran dalam melewati proses untuk menjadi seorang pemikir yang produktif dalam menghasilkan pemecahan ilmiah. Pada proses itu, ditemukan banyak hal: kemampuan metodologis berpikir, kreativitas dalam berkarya ilmiah, dan pengembangan diri.
9. Do not give your whole secret at once let the students guess before you tell it let them find out by themselves as much as it feasible. Janganlah memberikan terlau jauh seluruh cara penyelesaian, biarkanlah para siswa menerka sebelum guru mengajarkannya. Biarkanlah oleh diri mereka sendiri apa yang sesungguhnya dapat dikerjakan. Dorong dan bimbinglah siswa sebagai seorang pemecah masalah (problem solver) yang baik. Memberikan kesempatan siswa memecahkan masalah sampai batas kemampuan terbaik mereka, maka akan timbul banyak sekali ide kreatif baru yang muncul, dengan demikian tanpa disadari guru pun menjadi seorang pembelajar yang menjadi semakin kaya dengan alternatif solusi yang ditawarkan siswanya.
10. Suggest it, do not force it down their throats. Doronglah dan bimbinglah mereka secukupnya, bila mereka gagal dalam memecahkan masalah jangan memarahinya.
Sedangkan menurut NCTM (1989) karakteristik atmosfir kelas yang mendorong dan mendukung usaha-usaha pemecahan masalah terjadi jika para siswa :
1. Mau dan harus berbagi pemikiran dan pendekatan dengan siswa lain dan guru. Peranan utama guru hanya menyampaikan pendekatan penyelesaian masalah dalam proses belajar mengajar seluruh materi matematika, melalui pertanyaan yang menantang, spekulasi, penyelidikan dan eksplorasi pengetahuan yang dilakukan para siswanya.
2. Belajar beberapa cara menyajikan masalah dan strategi penyelesaiannnya.
3. Belajar menghargai problem solving seperti mereka menghargai solusi-solusinya.
4. Menciptakan dan memformulasikan masalah dari konteks dunia nyata dan tidak nyata, penyusunan data dan persamaan-persamaan masalah yang dihadapinya.
5. Menggunakan kekuatan dan manfaat matematika di sekitar mereka, sehingga siswa mampu menyiapkan konteks yang sesuai dan mempelajarinya serta mengaplikasikannya.
Dengan memperhatikan pendapat di atas, maka tentulah keberhasilan pembelajaran matematika akan banyak sekali faktor yang mempengaruhinya, baik dari segi guru, siswa, serta dukungan dari semua komponen pendidikan yang langsung maupun tak langsung terlibat dalam pendidikan. Namun demikian, pendidiklah yang harus menjadi aktor yang menyesuaikan keterbatasan serta kelebihan yang ada dalam mengimplementasikan pembelajaran agar para peserta didiknya berhasil.
BAB III
PEMBELAJARAN DENGAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL

A. Pembelajaran dengan Pendekatan Kontekstual
Pendefinisian pengajaran kontekstual yang dikemukakan oleh para ahli sangatlah beragam, namun pada dasarnya memuat faktor-faktor yang sama. Pembelajaran dengan pendekatan kontekstual (Contextual Teaching and Learning, CTL) adalah pembelajaran yang dimulai dengan mengambil, mensimulasikan, menceritakan, berdialog, bertanya jawab atau berdiskusi pada kejadian dunia nyata kehidupan sehari-hari yang dialami siswa, kemudian diangkat kedalam konsep yang akan dipelajari dan dibahas.
Menurut Berns dan Ericson (2001), pengajaran kontekstual adalah suatu konsep pengajaran yang dapat membantu guru menghubungkan materi pelajaran dengan situasi nyata, dan memotivasi siswa untuk membuat koneksi antara pengetahuan dan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari dalam peran mereka sebagai anggota keluarga, warga negara dan pekerja, sehingga mendorong motivasi untuk bekerja keras menerapkan hasil belajar. Dengan demikian pengajaran kontekstual merupakan suatu sistem pengajaran yang didasarkan pada penelitian kognitif, sehingga guru harus merencanakan pengajaran yang cocok dengan tahap perkembangan siswa, baik itu mengenai kelompok belajar siswa, memfasilitasi pengaturan belajar siswa, mempertimbangkan keragaman siswa, serta mempersiapkan cara-teknik pertanyaan dan assessmen otentiknya, sehingga pembelajaran mengarah pada peningkatan kecerdasan siswa.
Menurut sejarahnya, pengajaran kontekstual merupakan salah satu pendekatan konstruktivisme baru dalam pembelajaran matematika, yang pertama-tama dikembangkan di negara Amerika, yaitu dengan dibentuknya Washington State Consortium for Contextual oleh Departemen Pendidikan Amerika Serikat. Menurut Owens (2001) bahwa pada tahun 1997 sampai dengan tahun 2001 diselenggarakan tujuh proyek besar yang bertujuan untuk mengembangkan, menguji, serta melihat efektivitas penyelenggaraan pengajaran matematika secara kontekstual. Proyek tersebut melibatkan 11 perguruan tinggi, 18 sekolah, 85 orang guru dan profesor serta 75 orang guru yang sebelumnya sudah diberikan pembekalan pembelajaran kontekstual. Selanjutnya penyelenggaraan program ini berhasil dengan sangat baik untuk level perguruan tinggi dan hasilnya direkomendasikan untuk segera disebarluaskan pelaksanaannya. Hasil penelitian untuk tingkat sekolah, yakni secara signifikan terdapat peningkatan ketertarikan siswa untuk belajar, dan meningkatkan partisipasi aktif siswa secara keseluruhan.
Selanjutnya, hasil penelitian Northwest Regional Education Laboratories (Depdiknas, 2002) melaporkan bahwa pengajaran kontekstual dapat menciptakan kebermaknaan pengalaman belajar dan meningkatkan prestasi akademik siswa. Demikian pula Owens (2001) menyatakan bahwa pengajaran konteksual secara praktis menjanjikan peningkatan minat, ketertarikan belajar siswa dari berbagai latar belakang serta meningkatkan partisipasi siswa dengan mendorong secara aktif dalam memberikan kesempatan kepada mereka untuk mengkonstruksi pengetahuan dan mengaplikasikan pengetahuan yang telah mereka peroleh sehingga dapat meningkatkan pemecahan masalah matematik dikehidupan sehari-hari.
Dalam pembelajaran kontekstual siswa mempelajari konsep-konsep matematika dikaitkan dengan kehidupan lingkungan kesehariannya, dan dampak dari pengambilan konteks lingkungan sekitar ini akan memberikan pengaruh yang sangat kuat terhadap watak, sikap dan pola pikir serta kemampuan siswa dalam menanggapi dan menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya. Dengan demikian orang yang sering mendapat stimulus dan respon dari lingkungan akan terus bertambah dan berkembang tingkat kecerdasannya. Hal tersebut senada dengan pendapat Johnson (Kurniawan, 2006), orang yang paling sering merespon lingkungan melalui panca indranya adalah orang yang memiliki kesempatan lebih besar untuk tumbuh dan berkembang dalam pemikirannya. Jadi dengan membiasakan siswa untuk dapat aktif mengkontruksi pengetahuan secara sistematik, akan memberi peluang meningkatkan pemahaman dan pemecahan masalah matematiknya sehingga dapat meningkatkan prestasi belajarnya.
Selanjutnya dalam sebuah laporan untuk Northwest Regional Educational Laboratory, Owens (2001) mengemukakan tujuh elemen kunci dari pengajaran kontekstual yaitu belajar bermakna, penerapan pengetahuan, berpikir tingkat tinggi, kurikulum yang dikembangkan berdasarkan kepada standar yang sesuai, responsif terhadap budaya, dorongan aktif serta penilaian yang otentik. Hal tersebut senada dengan pendapat Depdiknas (2002:10) yang menyatakan :
Pembelajaran kontekstual melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran yaitu : Konstruktivisme (constructivism), menemukan (inquiry), bertanya (questioning), masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modeling), refleksi (relfection), dan asesmen otentik ( authentic assesment).

Pendapat lain mengenai komponen-komponen utama dari pengajaran kontekstual yaitu menurut Johnson (Kurniawan, 2006), pengajaran kontekstual berarti membuat koneksi untuk menemukan makna, melakukan pekerjaan yang signifikan, mendorong siswa untuk aktif, pengaturan belajar sendiri, bekerja sama dalam kelompok, menekankan berpikir kreatif dan kritis, pengelolaan secara individual, menggapai standar tinggi, dan menggunakan asesmen otentik.
Menurut Zahorik (Depdiknas, 2002:7) ada lima elemen yang harus diperhatikan dalam praktek pembelajaran kontekstual, yaitu :
1. Pengaktifan pengetahuan yang sudah ada (activating knowledge)
2. Pemerolehan pengetahuan baru (acquiring knowledge) dengan cara mempelajari secara keseluruhan dulu, kemudian memperhatikan detailnya.
3. Pemahaman pengetahuan (understanding knowledge), yaitu dengan cara menyusun (a) Konsep sementara (hipotesis), (b) melakukan sharing kepada orang lain agar mendapat tanggapan (validisasi) dan atas dasar tanggapan itu (c) konsep tersebut direvisi dan dikembangkan.
4. Mempraktekan pengetahuan dan pengalaman tersebut (applying knowledge)
5. Melakukan refleksi (reflecting knowledge) terhadap strategi pengembangan pengetahuan tersebut.
Dengan memperhatikan pendapat-pendapat para ahli tentang pengajaran kontekstual di atas, menurut penulis pengajaran ini menekankan pada berpikir tingkat tinggi, penggunaan pengetahuan antar lintas disiplin, serta pengumpulan, penganalisaan dan pensintesaan informasi-data dari berbagai sumber, sehingga tak diragukan lagi bahwa pembelajaran kontekstual akan meningkatkan kemampuan dasar matematik, khususnya kemampuan pemahaman, pemecahan masalah, koneksi dan komunikasi matematik siswa
Selanjutnya aktifitas pengajaran kontektual yang dikembangkan dalam penelitian ini akan difokuskan untuk mengikuti komponen-komponen pengajaran kontekstual menurut Bern dan De Stefano (2001), yaitu :
1. Belajar Berbasis Masalah
Pembelajaran dengan pendekatan kontekstual dimulai dengan menghadapkan siswa kedalam suatu permasalahan nyata / disimulasikan yang menantang agar siswa dapat termotivasi untuk menyelesaikannya. Ketika siswa berhadapan dengan permasalahan itu, mereka menyadari bahwa hal tersebut dapat dilihat dari berbagai sudut pandang, artinya mereka akan menyadari bahwa untuk menyelesaikan permasalahan tersebut siswa harus dapat mengkonstruksi pengetahuan secara kritis dengan cara mengkoneksikan serta mengintegrasikan informasi, ide-ide serta konsep pengetahuan dari berbagai disiplin ilmu yang ia miliki.
2. Belajar dengan Multi Konteks
Belajar dengan multi konteks artinya siswa belajar sesuai dengan keadaan kondisi sehari-hari, sehingga pengetahuan yang didapat dari sekolah dapat diaplikasikan di tempat kerja, di rumah, bahkan di lingkungan masyarakatnya. Oleh karena itu proses belajar siswa dalam mendapatkan pengetahuan diperoleh melalui suatu pengkoordinasian yang melibatkan konteks sosial dan fisik, sehingga setting pembelajaran dapat dilakukan di dalam atau di luar ruang kelas. Hal ini sesuai dengan pendapat Sears dan Hersh (Kurniawan, 2006) yang mengasumsikan bahwa pengetahuan tidak mungkin dapat dipisahkan dari konteks dan aktivitas yang terkait dengan proses pengembangan pengetahuan tersebut. Jadi, bagaimana seseorang belajar harus memperhatikan situasi-kondisi di mana dia belajar dalam mendapatkan pengetahuan secara bermakna.
3. Belajar Mandiri (BM)
Belajar mandiri (Self Regulated Learning) menurut Bern dan De-Stefano (Suryadi,2005), mencakup tiga karakteristik sentral yaitu : (1) kesadaran berpikir, (2) penggunaan strategi, dan (3) pemeliharaan motivasi. Pengembangan sifat PBM pada diri seseorang meliputi peningkatan kesadaran tentang berpikir efektif serta kemampuan menganalisis kebiasaan berpikir. Seseorang memiliki peluang untuk mengembangkan keterlibatannya secara pribadi dalam kegiatan observasi, evaluasi, dan bertindak untuk mengarahkan tiap rencana yang dia buat, strategi yang dipilih, serta evaluasi tentang pekerjaan yang dihasilkan. Agar motivasi belajar siswa selalu terpelihara baik, maka beberapa aspek yang perlu diperhatikan adalah tujuan aktivitas yang dilakukan, tingkat kesulitan serta nilainya, persepsi siswa tentang kemampuannya untuk mencapai tujuan tersebut, dan persepsi siswa apabila mereka berhasil atau gagal dalam mencapai tujuan pembelajaran.
Peranan siswa dan guru dalam belajar mandiri sesuai dengan tabel 1.
Tabel 1
Peran Siswa dan Guru dalam Belajar Mandiri
Peran Siswa Peran Guru
• Berperan aktif dalam proses belajar
• Mendefiniskan tujuan belajar serta masalah yang bermakna secara personal
• Menumbuhkan motivasi dari kebermaknaan tujuan, proses dan keterlibatan dalam belajar
• Mempertimbangkan berbagai macam pilihan strategi serta memilih strategi yang dianggap paling sesuai untuk mencapai tujuan
• Menyadari serta melakukan umpan balik atas proses berpikir yang dilakukannya dan secara berkelanjutan mengembangkan pembelajarannya.
• Memperoleh makna serta pengetahuan dan melakukan transfer atau aplikasi pada pemecahan masalah yang dihadapi secara kreatif dan inovatif
• Berfikir secara refleksi sebagai alat untuk mengembangkan aspek kognitif dan transfer pengetahuan.
• Berpartisipasi dalam evaluasi untuk pengembangan kemajuannya.
• Memfasilitasi lingkungan belajar yang memungkinkan siswa untuk mengembangkan pengaturan belajar secara mandiri.
• Menciptakan kesempatan untuk terjadinya aktifitas pribadi yang terkendali, bekerja kelompok, dan berbagi pengetahuan.
• Membimbing siswa untuk belajar sebagaimana mestinya.
• Bertindak sebagai fasilitasi dan pembimbing
• Menjadi model, mediator, dan moderator yang kondisional dengan kebutuhan siswa
• Membantu siswa untuk meningkatkan pemahaman serta mengkoneksikan pengetahuan yang dimiliki sebelumnya dengan pengetahuan yang baru.
• Aktif mendengarkan, bertanya, menyediakan balikan, serta menolong siswa untuk selalu berfokus pada permasalahan yang dihadapi
Sumber : Dimodifikasi dari Suryadi (2005)
4. Penilaian yang Otentik
Penilaian yang otentik adalah suatu penilaian yang tidak hanya mementingkan produk pembelajaran, tetapi lebih berorientasi pada proses sehingga pelaksanaan penilaian menyatu selama proses pembelajaran berlangsung. Dengan cara ini, maka setiap perkembangan peserta didik baik individu maupun kelompok akan teramati, sehingga setiap kelebihan dan kelemahan yang ditemukan akan segera dapat dimanfaatkan sebagai umpan balik bagi siswa maupun guru.
5. Masyarakat Belajar
Aktivitas siswa selama KBM berlangsung melibatkan suatu komunitas belajar tertentu yang dikenal sebagai masyarakat/komunitas belajar (Learning Community). Dalam komunitas ini siswa memegang peranan yang sangat penting dalam proses belajar, peserta didik berbicara mengemukakan pendapatnya, berbagi pengalaman dan pengetahuan dengan orang lain serta bekerja sama dalam suatu kelompok kecil (4-5 orang siswa), saling berargumen dan menghargai pendapat orang lain, oleh karena itu dalam pembelajaran akan terjadi suatu proses umpan balik yang aktif baik antar siswa maupun dengan guru. Dengan terjadinya interaksi tersebut, maka dengan sendirinya timbul refleksi hasil pemikiran siswa ataupun kelompoknya, yang akhirnya akan meningkatkan pemahaman dan pemecahan masalah matematik setiap siswa.
Dengan memperhatikan aktifitas pengajaran kontekstual menurut Bern dan De Stefano serta Zahorik di atas, maka seting pembelajaran pada penelitian ini adalah :
1) Siswa dibuat kelompok kecil sekitar 4-5 orang dengan kemampuan yang heterogen.
2) Kelompok siswa diberikan permasalahan dalam bentuk kontekstual atau yang disimulasikan. Permasalahan dipilih yang menantang siswa untuk dicari solusinya, dalam bentuk LKS.
3) Siswa mengeksplorasi pengetahuan dengan cara mengkoneksikan, mengkomunikasikan serta pengintegrasian pengetahuan yang ia miliki dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi secara berkelompok.
4) Guru dengan sistem tanya jawab yang interaktif antara siswa dengan siswa ataupun dengan guru, untuk menjelaskan hal yang tidak dimengerti oleh siswa. Guru memberikan peluang pada siswa untuk menanggapi terhadap pertanyaan ataupun jawaban siswa yang lainnya.
5) Saat siswa mengerjakan LKS per kelompok, guru berkeliling untuk dapat bertindak sebagai fasilitator, moderator dalam membimbing kelompok siswa yang bermasalah.
6) Saat siswa selesai berdiskusi secara berkelompok, guru bersama siswa membahas permasalahan dari soal yang disajikan.
7) Diakhir pertemuan, diadakan refleksi terahadap pembelajaran yang sudah berlangsung. Siswa mampu merangkum hasil pembelajaran.
























BAB IV
REFLEKSI DISKUSI DAN KESIMPULAN
A. Refleksi
Pemahaman dan pemecahan masalah matematik (PPMM) merupakan bagian dari kekuatan dalam proses dan tujuan suatu pembelajaran matematika. Tanpa melalui pemahaman matematik, maka seseorang yang sedang dalam belajar matematika maka ia tak akan mampu melakukan komunikasi, koneksi ataupun memecahkan masalah/soal matematika yang dijumpainya. Oleh karena itu dalam pembelajaran matematika di setiap jenjang pendidikan PPMM haruslah menjadi target yang akan dicapai, baik dalam proses maupun hasil pembelajarannya. Terlebih dengan telah diberlakukannya kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) yang mengisyaratkan bahwa siswa setelah mempelajari matematika diharapkan memiliki kemampuan pemahaman, pemecahan masalah, komunikasi dan koneksi matematik.
Pendefinisian dari pemahaman dan pemecahan masalah matematik dari pendapat para ahli sangat beragam, walaupun demikian pada hakekatnya hal tersebut dapat dipandang sebagai proses dan tujuan. PPMM dipandang sebagai proses artinya PPMM merupakan suatu aktifitas kognisi mental dalam proses pembelajaran dalam memahami suatu masalah/konsep matematika, serta proses memecahkan masalah ide/konsep matematika yang dilakukan siswa secara langsung maupun tak langsung. PPMM sebagai tujuan berarti PPMM merupakan suatu kemampuan dalam bidang pemahaman matematika, pemecahan masalah matematik yang dimiliki siswa setelah melalui proses yang intensif dan simultan pada pembelajaran matematika.
Salah satu pendekatan pembelajaran matematika yang diduga dapat meningkatkan PPMM adalah pendekatan pembelajaran kontekstual/ contextual teaching and learning (CTL), hal ini dikarenakan dalam proses pembelajaran CTL, siswa digiring agar memiliki kemampuan PPMM yang dimulai dari suatu basis masalah nyata atau simulasi masalah multi konteks dimana siswa dibimbing serta diarahkan berperan pro aktif dalam aktivitas belajar mandiri (Self Regulated Learning), serta melibatkan suatu komunitas masyarakat belajar tertentu (Learning Community). Artinya, pada pendekatan pembelajaran kontekstual melibatkan tujuh komponen utama proses pembelajaran matematika secara bermakna, yaitu : konstruktivisme (constructivism), menemukan (inquiry), bertanya (questioning), masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modeling), refleksi (relfection), dan asesmen otentik ( authentic assesment). Dengan demikian komponen-komponen utama dari pengajaran kontekstual tersebut, menurut Johnson (Kurniawan, 2006), pengajaran kontekstual berarti membuat koneksi, melakukan komunikasi untuk menemukan makna pemahaman konsep/ide matematik, melakukan pekerjaan yang signifikan, mendorong siswa untuk berpikir aktif dalam memecahkan suatu permasalahan melalui belajar sendiri, bekerja sama dalam kelompok, menekankan berpikir kreatif dan kritis, pengelolaan kemampuan matematika secara individual untuk menggapai standar tinggi, dalam prinsip asesmen yang otentik agar sisiwa memiliki kemampuan PPMM yang diharapkan..

B. Diskusi Hasil Penelitian Terdahulu
Beberapa hasil penelitian terdahulu yang mendukung CTL dengan prinsip studi kooperarif dan pembelajaran matematika secara bermakna lainnya dari sejumlah studi (Mahpudin, 2006; Marjuki, 2006; Mina, 2006; Hutagaol, 2006; Kurniawan, 2006; Rauf, 2004; Sumarmo, 1987; Wardani, 2002; Kaimudin 2003; Hulukati, 2005; Heruman, 2002; Zulkifli, 2004; dan Owens, 2001). Secara umum melaporkan hasil belajar matematika dalam berbagai aspek berpikir matematik (kemampuan pemahaman dan pemecahan masalah matematik) dengan hasil penelitian yang tergolong antara sedang dan baik
Mahpudin (2006) melakukan studi eksperimen pada siswa kelas 2 SMP Subang, hasil penelitiannya mengungkapkan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa SMP yang memperoleh pembelajaran model hibrid lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran model tradisional. Tingkat kemampuan pemecahan masalah matematikanya berada pada kemampuan sedang.
Marjuki (2006), dengan studi eksperimennya pada siswa kelas 2 MAN Buntet Cirebon mengungkapkan bahwa, peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan kooperatif menunjukan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan siswa yang memperoleh pembelajaran secara konvensional.
Studi eksperimen Mina (2006) pada siswa SMA kelas 2 di Bandung melaporkan bahwa, berpikir kritis siswa dengan indikator pemahaman matematik pada pembelajaran open ended lebih baik hasilnya dibandingkan siswa yang mengikuti pembelajaran matematik secara konvensional.
Hutagaol (2006), melakukan studi eksperimen pembelajaran kontekstual pada siswa kelas 8 di SMPN 1 Cisarua Bandung. Hasil penelitian ternyata siswa yang pembelajarannya dengan pendekatan kontekstual, kemampuan representasinya lebih baik dari pada siswa yang pembelajaran secara konvensional. Selain itu, siswa yang pembelajarannya dengan pendekatan kontekstual ternyata kemampuan pemahaman dalam mengkaji, menduga hingga membuat kesimpulan berkembang lebih baik dari pada siswa yang pembelajaran secara konvensional.
Kurniawan (2006), melakukan penelitian eksperimen dengan CTL pada siswa kelas 1 SMKN 1 Kadipaten Majalengka. Ternyata hasil penelitian menunjukkan bahwa siswa yang pembelajaran matematikanya secara CTL memiliki peningkatan kemampuan koneksi matematik yang lebih baik dibandingkan siswa yang pembelajaran secara tradisional. Selain itu, pada hasil penelitian ini terungkap pula bahwa terdapat hubungan yang positif, antara skala sikap dan pengetahuan penunjang yang dimiliki siswa terhadap kemampuan koneksi matematiknya. Berdasarkan respon yang ditunjukkan melalui skala sikap pasca pembelajaran kontekstual, ternyata rata-rata siswa menunjukan sikap yang positif terhadap matematika dan pembelajarannya, sehingga melalui pembelajaran CTL berpeluang besar meningkatkan kemampuan koneksi matematik dimasa mendatang.
Rauf (2004) yang melakukan studi eksperimen pada siswa SMP kelas 2 Toli-Toli, mengungkapkan pembelajaran dengan pendekatan kontekstual dapat meningkatkan pemahaman konsep dan kemampuan koneksi matematik siswa. Aspek kemampuan pemahaman dan kemampuan koneksi matematika siswa mencapai standar yang cukup tinggi. Selain itu, berdasarkan hasil skala sikap terungkap bahwa siswa berpendapat dan menunjukkan sikap yang positif terhadap matematika, kegiatan pembelajaran kontekstual dan terhadap soal-soal koneksi matematik.
Studi Sumarmo (1987) terhadap siswa SMA kelas 2, mengungkapkan adanya hubungan yang berarti antara kemampuan pemahaman dan penalaran matematika dan hasil belajar siswa dalam tes formatif matematika, fisika, kimia, dan bahasa Indonesia. Kemampuan pemahaman yang ditelitinya adalah pemahaman analogi.
Wardani (2002), melakukan penelitian eksperimen melalui model kooperatif tipe jigsaw pada siswa Kelas 1 di SMA 1 Kabupaten Tasikmalaya dengan populasi siswa sebanyak 8 kelas. Hasil penelitian menunjukan bahwa siswa yang menggunakan pembelajaran kooperatif tipe jigsaw ternyata kemampuan pemecahan masalah matematik untuk tiap aspeknya lebih baik dari pada siswa yang pembelajarannya secara konvensional. Selain itu, ternyata siswa dengan model kooperatif jigsaw lebih aktif, 79,2% waktu pembelajarannya digunakan untuk membaca buku, LKS, berdiskusi antar siswa, dan mengerjakan latihan.
Kaimudin (2003), meneliti pemecahan masalah matematika siswa SD kelas V di Kendari melalui belajar dalam kelompok kecil. Sampel yang terlibat dalam penelitian sebanyak 30 siswa. Penelitian eksperimen tanpa kelas kontrol ini menghasilkan : (1) Siswa yang mula-mula kemampuan pemecahan masalahnya kurang ternyata setelah belajar dengan kelompok kecil kemampuannya meningkat; (2) Kesalahan siswa yang yang paling banyak dalam memecahkan masalah matematika terdapat pada aspek memeriksa hasil perhitungan; (3) Aktivitas siswa dalam kelompok kecil tergolong tinggi; (4) secara umum sikap siswa terhadap pembelajaran dengan pemecahan masalah adalah positif.
Hulukati (2005), melakukan penelitian eksperimen melalui model pembelajaran generatif siswa Kelas 2 SMP level tinggi dan rendah di Kabupaten Gorontalo dengan sampel sebanyak 160 siswa. Hasil penelitian menunjukan bahwa siswa yang menggunakan model pembelajaran generatif kemampuan komunikasi dan pemecahan masalah matematiknya lebih baik dibandingkan dengan siswa yang pembelajarannya secara konvensional. Namun untuk siswa level tinggi ternyata kemampuan komunikasi matematik pada pembelajaran generatif tidak memberikan pengaruh yang berarti, sedangkan kemampuan pemecahan masalah matematiknya untuk siswa level tinggi dan rendah memberikan pengaruh yang berarti.
Hasil penelitian pembelajaran dengan pendekatan kontekstual yang dilakukan di SD Negeri Adetex Kecamatan Arjasari Kabupaten Bandung oleh Heruman (2002), ternyata pembelajaran kontekstual dapat meningkatkan hasil belajar siswa khususnya pada pokok bahasan pecahan, siswa terlibat aktif dan mampu mengkaitkan topik yang lalu dengan masalah yang dihadapi sehingga siswa bergairah dalam belajar matematika. Selain itu terungkap pula bahwa selama proses pembelajaran siswa menunjukkan sikap yang positif, senang belajar berkelompok maupun perorangan, tidak putus asa dalam menghadapi masalah yang sulit dan percaya diri dalam memecahkan masalah sehari-hari.
Selanjutnya penelitian CTL yang dilakukan pada awal semester ganjil tahun pelajaran 2003/2004 di SD Babussalam Kecamatan Tampan Pekanbaru (Zulkifli, 2004), mengungkapkan pembelajaran dengan pendekatan kontekstual dengan cara memberikan LKS pada siswa, maka siswa akan terlibat aktif dalam mengkonstruksi pengetahuan. Selain itu, terjadi peningkatan hasil belajar siswa yang signifikan, yaitu berada pada kualifikasi cukup baik.
Hasil penelitian yang dilaksanakan di negara Amerika, The Contextual and Consortium yang bekerjasama dengan Oregon University (Rauf,2004) menyimpulkan :
• Banyak siswa menerima dan bertanggung jawab untuk belajar mandiri,
• Siswa merasa senang dalam belajar secara interaksi sosial,
• Semua siswa dalam belajar terlayani, baik yang pintar, sedang maupun yang lambat,
• Guru berperan sangat penting dalam pembelajaran dan penyusunan rencana KBM,
• Kelas yang terbuka dan siswa bekerjasama secara team merupakan kunci keberhasilan pembelajaran.
Selain itu, penelitian Washington State Consortium for Contextual (Owens,2001) melaporkan bahwa secara signifikan terdapat peningkatan ketertarikan siswa untuk belajar, meningkatkan secara utuh partisipasi siswa untuk aktif dalam proses belajar mengajar, sehingga dapat menciptakan kebermaknaan pengalaman belajar dan meningkatkan prestasi akademik siswa. Dengan kata lain, bahwa pembelajaran dengan pendekatan konteksual secara praktis menjanjikan peningkatan minat, ketertarikan belajar, serta meningkatkan partisipasi siswa dalam memberikan peluang kepada siswa untuk mengkoneksikan dan mengaplikasikan pengetahuan yang telah mereka peroleh, sehingga prestasi akademiknya akan meningkat.

C. Diskusi Kelemahan Pembelajaran Kontekstual
Pada Bab III di depan, dikemukakan tentang pembelajaran kontekstual (CTL) dan metode jigsaw serta beberapa indikator implementasi kekuatan dalam pembelajaran matematika dibandingkan dengan pembelajaran secara konvensional, walaupun demikian ada beberapa hal yang diduga sebagai indikasi kelemahan dalam pembelajaran dengan menggunakan pendekatan konteksual, indikasi tersebut adalah :
1. Memerlukan waktu yang relatif lama agar siswa sampai pada pengetahuan formalnya.
2. Karena menggunakan permasalahan dalam konteks-konteks yang berbasis masalalah kontekstual, siswa pada level sedang dan rendah sulit mencapai kemampuan formalnya, sedangkan pada siswa level tinggi, terkadang membuat rasa bosan.
3. Tidak tersedianya sarana dan prasarana yang menunjang CTL diberbagai level pendidikan disetiap daerah.
4. Pada prinsip learning comunity, terutama dalam menghadirkan model dalam KBM sangatlah sulit.
5. Sangat cocok pada siswa dengan kemampuan sedang dan rendah, tetapi untuk siswa dengan level kemampuan tinggi perlu dibuat suatu konteks permasalahan yang tidak akan membosankan.
6. Adaptasi CTL dan Jigsaw pada siswa sulit dilakukan, terutama saat siswa memberi komentar dan menjelaskan konsep yang muncul di antara temannya. Hal ini karena budaya/kebiasaan belajar yang konvensional yang biasa dilakukan sehingga keberanian mengungkapkan pendapat masih rendah dan diskusi kurang hidup.
7. Believe guru tentang pembelajaran konvensional yang sudah tertanam lama, sehingga kemampuannya dalam implementasi CTL masih kurang sehingga perlu pelatihan-pelatihan tentang apa, mengapa dan bagaimana implementasi CTL yang seharusnya dilakukan.
8. Muatan kurikulum yang masih padat, memungkinkan guru hanya menggunakan metode, pendekatan pembelajaran yang mereka senangi dan kuasai, guna mencapai target kurikulum tersebut.
9. Tidak semua materi metematika dapat cocok diberikan dengan pembelajaran CTL

D. Kesimpulan
Pemahaman dan pemecahan masalah matematik (PPMM), merupakan bagian dari kekuatan dalam proses dan tujuan suatu pembelajaran matematika. Kemampuan PPMM dalam suatu konsep matematika, diawali dengan kemampuan pemahaman konsep matematik yang kemudian berlanjut pada proses pemahaman dalam meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematik, sedangkan pada level konsep matematika yang lebih tinggi kemampuan pemecahan masalah dapat meningkatkan pemahaman konsep matematik selanjutnya. Selain itu, masing-masing kemampuan PPMM saling menunjang satu sama lainnya, demikian seterusnya sehingga terjadi siklus kemampuan PPMM seperti gambar berikut :










Gambar 3.
Siklus Kemampuan Pemahaman Pemecahan Masalah Matematik

Walaupun pendekatan pembelajaran CTL diduga memiliki kelemahan-kelemahan, namun berdasarkan hasil-hasil penelitian pendekatan dan metode pembelajaran tersebut diyakini dapat meningkatkan kemampuan matematik siswa yang akan berdampak pada meningkatnya prestasi belajar matematika pada umumnya. Oleh karena itu, sudah sepantasnya ada suatu penelitian yang mengimplementasikan pendekatan pembelajaran CTL dalam meningkatkan kemampuan PPMM siswa.














Daftar Pustaka

Alfeld, P (2004). Understanding Mathematics. Utah : Departemen of Mathematics. University of Utah. Tersedia : http:/www math utah edu/-alfeld/math html. (Mei 2008).

Anderson dan Krathwohl (20011). The Cognitive Process Dimension of The Revised Version of Bloom’s Taxonomy in The Cognitive Domain. The Lost Journal of Ven Polypheme. Tersedia : http://www.. enpolypheme.com/bloom.htm. (Mei 2008).

Aronson, E (2008). Jigsaw in 10 Easy Steps. Tersedia : http://www.jigsaw.org/ steps.htm. (Juni 2008)

Asikin, M (2002). Menumbuhkan Kemampuan Komunikasi Matematika melalui Pembelajaran Matematika Realistik. Jurnal Matematika atau Pembelajarannya, ISSN : 0852-7792 Tahun VIII, Edisi Khusus, Juli 2002.

Baroody, A.J. (1993). Problem Solving, Reasoning, and Communicating, K-8. Helping Children think Mathematically. New York: Macmillan Publishing Company.

Berns, R and De-Stefano,J (2001) Best Practise in Contextual Teaching and Learning (A Research Monograph). Office of Vocational and Adult Education.

Berns, R.G and Erickson, P.M. (2001). Contextual Teaching and Learning. The Highlight Zone : Research a Work No. 5 (Online) Available: http: //www.ncte.org/publications/infosyntesis/highlight 05/index.asp ?dirid = 145 & dspid =1.

Dahlan, J.A (2004). Meningkatkan Kemampuan Pemahaman dan Penalaran Matematik Siswa Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama melalui Pendekatan Open-ended. Bandung: Disertasi PPS UPI. (Tidak diterbitkan).

Depdiknas (2002). Pendekatan Kontekstual. Jakarta : Dirjen Dikdasmen.

Edmund, N.W (2007). History of Problem Solving. Tersedia : http :// www.problem solving. net /booklet. html. (Mei 2008)

Hudoyo, H (1998). Pengembangan Kurikulum Matematika dan Pelaksanaannya di depan Kelas. Surabaya : Usaha Nasional.

Hulukati, E (2005). Mengembangkan Kemampuan Komunikasi dan Pemecahan Masalah Matematika Siswa SMP melalui Model Pembelajaran Generatif. Disertasi. Bandung : Program Pascasarjana UPI (Tidak diterbitkan).

Kurniawan, R (2006). Pembelajaran dengan Pendekatan Kontekstual untuk Meningkatkan Kemampuan Koneksi Matematik Siswa SMK. Tesis. Bandung : UPI (Tidak diterbitkan).

Mercer, et al (1998). Understanding Math Learning Problems. Math Vids. Tersedia : http://coe.jmu.edu/Mathvids2/understanding/understanding.html. (Juni 2008).

National Council Of Teacher Of Mathematics (1989). Curriculumm and Evaluation Standards for School Mathematics. Virginia : NCTM, Inc.

National Research Council's (2002). What Can Teacher Do. Published by the National Academy Press. Tersedia : http://books.nap.edu/openbook.php?record_id=10434&page=37. (Mei 2008).

Owens, T. (2001, Spring). Teacher Preparation for Contextual Teaching and Learning A Statewide Consortium Model. Portland, Oregon; Northwest Regional Educational Laboratory.

Posamentier, A.S., dan Stepelmen, J (2002). Teaching Secondary Mathematics: Techniques and Enrichment Units. Upper Saddle River, NJ: Pearson Education, Inc.

Polya, G (1985). How to Solve It. A New Aspect Mathematical Methods. New Jersey : Pearson Education. Inc.

Ruseffendi, E.T. (1991). Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika CBSA. Bandung: Tarsito.

Ruseffendi, E.T (1988). Pengantar Kepada Membantu Guru mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung : Tarsito.

Ruspiani. (2000). Kemampuan Siswa dalam Melakukan Koneksi Matematik. Tesis Bandung : Program Pascasarjana UPI. (Tidak diterbitkan).

Rusyana, A (1998). Penerapan Model Mengajar Induktif dengan Menggunakan Pendekatan Analogi sebagai Upaya untuk Meningkatkan Prestasi Belajar Siswa melalui Pengajaran Biologi. Tesis. Bandung : IKIP (Tidak diterbitkan).

Saragih, S (2007).Mengembangkan Kemampuan Berpikir Logis dan Komunikasi Matematik Siswa Sekolah Menengah Pertama melalui Pendekatan Matematik Realistik. Disertasi. Bandung : Program Pascasarjana UPI. (Tidak diterbitkan).

Slavin, R.E (2008). Cooperative Learning. Teori, Riset dan Praktik. Bandung: Nusa Media.

Suherman, et al (2001). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Common Text Book. Bandung : Jurusan Pendidikan Matematika FPMIPA UPI.

Suryadi, D (2005). Penggunaan Pendekatan Pembelajaran Tidak Langsung serta Pendekatan Gabungan Langsung dan Tidak Langsung dalam Rangka Meningkatkan Kemampuan Berpikir Matematik Tingkat Tinggi Siswa SLTP. Disertasi. Bandung : Program Pascasarjana UPI. (Tidak diterbitkan).

Utari (1987). Kemampuan Pemahaman dan penalaran Matematika siswa SMA Dikaitkan dengan Kemampuan penalaran Logik Siswa dan Beberapa Unsur Proses Belajar Mengajar. Disertasi. Bandung : Fakultas Pascasarjana IKIP Bandung. (Tidak diterbitkan).

Utari (1994). Suatu Alternatif Pembelajaran untuk Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika pada Siswa SMA di Kodya Bandung. Laporan Penelitian. Bandung: IKIP Bandung. (Tidak diterbitkan).

Utari (2003). Pembelajaran ketrampilan Membaca pada Siswa Sekolah Menengah dan Mahasiswa Calon Guru. Makalah. Bandung : FPMIPA UPI. Makalah Disampaikan pada Seminar Nasional Pendidikan MIPA UPI, tanggal 25 agustus 2003

Utari (2004). Pembelajaran Matematika untuk Mendukung Pelaksanaan Kurikulum Berbasis Kompetensi. Makalah. Bandung : Program Pascasarjana UPI. Makalah Disajikan Pada Pertemuan MGMP Matematika SMP Tasikmalaya, tanggal 11 februari 2004.

Utari (2005). Pengembangan Berpikir Matematik Tingkat Tinggi Siswa SLTP dan SMU serta Mahasiswa Strata Satu (S1) melalui Berbagai Pendekatan Pembelajaran. Laporan Penelitian. Bandung : Lemlit UPI. (Tidak diterbitkan).

Wahyudin (2004). Peranan Problem Solving. Makalah. Bandung : Program Pascasarjana UPI. (Tidak diterbitkan).

Wanhar (2000). Hubungan antara Konsep Matematika Siswa dengan Kemampuan Menyelesaikan Soal-Soal Fisika. Tesis. Bandung : UPI. Tidak diterbitkan.